16 Mei 2008

MENGEMBANGKAN SEMANGAT TOLERANSI PADA MASYARAKAT PLURALIS

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa atau Etnis, agama, dan warna kulit. Sehingga tidak salah rasanya ada istilah Bhineka Tunggal Ika 'berbeda-beda namun tetap satu' menjadi semboyan kita, memang ada wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya dan adapula yang minoritas.

Dengan kondisi yang ada semua masyarakat sebenarnya mendambakan kehidupan yang damai dan saling menghormati satu sama yang lain, namun sering kali ada percecokan antar pribadi yang akhirnya melibatkan komunitas banyak. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan Barat beberapa tahun yang lalu.

Sekarang inipun provinsi Kalimantan Barat sedang berada dalam situasi yang disebut dengan Negative Peace/Perdamaian Negative. Tidak ada konflik kekerasan pecah namun indicator social ke arah pecahnya konflik cukup tinggi, keadaan ini diakibatkan oleh terbatasnya forum/event untuk berdialog dan mengklarifikasi persoalan atau perbedaan, disamping itu beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok masyarakat masih tersegregasi dalam kegiatannya dan lemahnya kepercayaan terhadap kelompok etnis lainnya.

Beberapa analisis mengingatkan jika tidak terjadi peningkatan kualitas dialog dan saling pengertian, konflik baru akan tidak sulit untuk dipicu. Selama 5 tahun terakhir ini juga, tindak kekerasan antar etnik cenderung meningkat. Walapun tidak menjadi konflik komunal, tetapi apabila tidak upaya-upaya penanganan yang serius dari para penegak hukum, tokoh masyarakat dan kesadaran masyarakat sendiri pada masing-masing etnik. Maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali konflik komunal yang lebih besar.


Apa lagi Kalimantan Barat punya sejarah konflik antar etnis yang cukup intens di masa lalu dan paling tidak hingga saat ini sudah terjadi 9 kali konflik besar yang terjadi sejak tahun 1930; dengan kecenderungan kenaikan dari segi frekwensi, korban dan keluasan area konflik. Sehingga telah secara maya mensegregasi propinsi ini berdasarkan etnisitas dan konflik. Yang memprihatinkan adalah kaum perempuan dan anak-anak, mereka adalah pihak yang paling menderita akibat konflik maupun pasca konflik. Apalagi maraknya “penjualan perempuan dan anak-anak”, dan setelah ditelusuri kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga-keluarga korban kekerasan

Awal semua ini memang tidak terlepas dari setting politik dan pola pembangunan yang sentralistik pada masa orde baru, tetapi di masa reformasipun hal ini tidak pernah disentuh oleh pemerintah. Pemerintah tetap saja dengan polanya yang sudah baku, bahkan cenderung membuat kebijakan yang semakin membuat masyarakat multi-etnik terpecah, misalnya kebijakan pemekaran wilayah yang menggunakan garis sejarah primordialisme kesukuan.

Saat ini hubungan antar komunitas di beberapa kabupaten masih mengalami kemacetan. Kegiatan bersama antar komunitas yang pernah terjalin dulunya, baik di bidang budaya dan ekonomi sekarang ini tidak pernah terjadi lagi. Kecurigaan antara satu pihak dengan pihak lainnya sepertinya dipelihara. Jembatan komunikasi bisa dikatakan macet. Ditambah lagi penangganan aset-aset korban konflik masih belum tuntas, bahkan terkesan ada permainan oleh pihak pemerintahan maupun masyarakat.

Beberapa laporan dan analisis yang dilakukan oleh berbagai LSM dan Akademisi, memperlihatkan adanya kesamaan pola penyebab konflik. Mulai dari lemahnya mekanisme social untuk mengelola perbedaan kultur masyarakat, kompetisi social dan ekonomi yang keras. Ditambah lagi mekanisme penyelesaian persoalan antar komunitas yang tidak tertangani secara baik oleh aparat keamanan, kemudian mengabaikan system adat masyarakat dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Sehingga masyarakat mengambil tindakan sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang ada untuk menegakkan ‘rasa keadilan’.

Kemudian menguatnya gejala fundamentalisme agama yang saat ini menjadi fenomena di seluruh penjuru dunia. Seperti yang dituturkan Karen Armstrong (2002), fenomena “fundamentalisme” keagamaan ini sungguh mengejutkan di akhir abad ke-20. Merebaknya terorisme global dan kejahatan kemanusiaan universal yang menggunakan ajaran agama sebagai “kedok” dan legitimasi tindakan-tindakan, mengakibatkan terjadinya fanatisme agama. Terjadi konflik yang berbasis agama di daerah lain juga berpengaruh di Kalimantan Barat, dimana ada berapa kali isu penyerangan tempat ibadat dengan alasan yang tidak masuk akal. Ditambah lagi para ketua-ketua atau tokohtokoh keagamaan tidak terlalu pengaruh bagi umatnya, sehingga apabila ada persoalan yang menyangkut keagamaan yang sepele sepertinya dapat dengan cepat menjadi konflik komunal.

Moment pemilihan kepala daerah secara langsung atau PILKADA saat ini, juga merupakan salah satu potensi konflik, karena pada saat itu seringkali para elit-elit politik cenderung memobilisasi symbol etnis dan agama untuk mendapatkan/memperkuat dukungan kepadanya.

Dengan kondisi yang ada, saya melihat perlu ada beberapa kegiatan besar yang perlu dilakukan, dalam rangka terciptanya kehidupan yang damai antar komunitas, diantaranya :
1.Membangun Agenda Perdamaian Berbasis Komunitas
2.Kegiatan Bersama Antar Komunitas Multi-etnis
3.Peningkatan Kapasitas Tokoh-tokoh Masyarakat
4.Penyediaan Media Penyadaran Partisipatif

Dengan adanya beberapa kegiatan kunci ini diharapkan adanya upaya-upaya rekonsiliasi berbasis komunitas multi etnik dan diharapkan dapat menyumbang pada pencegahan konflik secara dini (early warning system). Disamping itu dengan terbangunnya simpul-simpul jaringan multi etnis akan menyumbang terhadap pembangunan relasi etnik yang harmonis. Sehingga masyarakat dengan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki mampu membangun mekanisme penyelesaian konflik (conflig resoution mechanism) dengan kesadaran yang mendalam dan saling memahami akan perbedaan yang ada namun tetap mempunyai persamaan mendasar dalam membangun kehidupan damai dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

SILAHKAN DUKUNG BLOG INI

KE REKENING BCA 8855 1274 62 AN. ATENG