Perburuan tanpa lelah sumber-sumber daya alam di Planet Bumi akan mendorong kehancuran ekologis pada planet ini, demikian World Wildlife Fund (WWF) mengingatkan seperti dikutip AFP, Kamis.
Meningkatnya permintaan pada bahan baku alam --seperti (hasil) hutan, air, lahan pertanian, udara dan keanekargaman hayati-- telah mempercepat tuntutan kemampuan Bumi untuk memperbarui sumberdaya hingga tiga kali lipat dari sebelumnya, demikian laporan Living Planet, WWF.
"Jika permintaan (bahan baku alam) dari Planet Bumi terus meningkat pada derajat yang sama sampai pertengahan 2030an maka kita memerlukan lagi dua planet agar kita bisa tetap hidup," kata Direktur Jenderal WWF James Leape dalam sebuah studinya.
Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan lembaga keuangan dunia selama krisis ekonomi, disamping sangat besar, juga menyebabkan kerugian ekologis yang besar setiap tahunnya.
Satu studi dari Uni Eropa menyebutkan bahwa setiap tahun, dunia kehilangan antara dua sampai lima triliun dolar AS dari alam sebagai dampak dari degradasi ekosistem.
"Dunia kini tengah berjuang menghadapi konsekuensi nilai aset sektor keuangan yang di luar takaran. Tapi satu krisis lebih fundamental tengah mengintai, yaitu rusaknya lingkungan disebabkan oleh ambruknya nilai aset lingkungan yang menjadi dasar semua kehidupan dan kemakmuran," papar Leape.
Laporan WWF itu memperlihatkan bahwa lebih dari tigaperempat penduduk Planet Bumi hidup di negara-negara dengan kondisi lingkungan terburuk di mana konsumsi penduduknya jauh melebihi kapasitas alamnya sendiri.
Laporan dua tahunan yang dikeluarkan Masyarakat Zoologi London (ZSL) dan Global Footprint Network (GFN) ini mengukur tingkat kebutuhan ekologis manusia terhadap bahan baku alam dan menakar kemampuan Planet Bumi untuk bertahan menyandang predikat "planet kehidupan."
Stagflasi
Laporan edisi 2008 ini juga menunjukkan turun drastisnya jumlah spesies biota sampai 30 persen sejak 1970 setelah para ahli mengamati lima ribu populasi biota dari 1.686 spisies.
Di daerah tropis yang keanekaragaman hayatinya tertinggi di dunia, keanekakaragaman hayatinya turun sampai 50 persen, terutama karena pemanasan global setelah alam menyerap karbondioksida dari atmosfer.
Deforestasi, konversi lahan, polusi, eksplorasi perikanan dan perubahan ikllim adalah faktor utama yang membuat alam terdegradasi.
"Kita tengah menghadapi dampak ekologis seperti halnya dampak ekonomis dari jatuhnya lembaga-lembaga keuangan, sehingga (dunia pun) membutuhkan jaminan (bailout) segera tanpa mempertimbangkan lagi konsekuensinya," kata Jonathan Loh dari ZSL.
"Konsekuensi krisis ekonomi global (terhadap lingkungan) bahkan jauh lebih serius ketimbang krisis ekonomi dewasa ini," sambung Jonathan.
Emisi gas karbon dari energi fosil dan deforestasi adalah pukulan terbesar terhadap nilai ekonomi alam raya, terutama ancaman perubahan iklim, demikian laporan itu menyimpulkan.
Bumi membutuhkan rata-rata 2,1 hektar lahan per orang untuk memproduksi sumberdaya kebutuhan manusia sekaligus untuk menangkap emisi karbon, tetapi faktanya manusia mengambil lebih banyak lagi, 2,7 persen.
"Jika defisit simpanan ekologis ini berlanjut maka dampak krisis ekonomi akan semakin parah," demikian kepala GFN Mathis Wackernagel.
"Pembatasan sumberdaya alam dan hancurnya ekosistem akan mendorong stagflasi dengan ambruknya nilai investasi, sebaliknya harga pangan dan energi meroket," tambahnya.
Amerika Serikat dan China masing-masing menggunakan seperlima dari total kapasitas alamnya, sementara konsumsi per kapita AS sendiri lebih tinggi dari kapasitas alamnya sendiri.
Jika setiap orang di dunia ini hidup seperti orang Amerika, maka penduduk Bumi akan membutuhkan 4,5 planet sekelas Bumi untuk mempertahankan sumber konsumsi penduduknya.
Satu indeks baru telah menunjukkan ada biaya ekonomi tersembunyi dibalik konsumsi air. Satu T-shirt berbahan katun misalnya, membutuhkan 2.900 liter air, dari sejak bahan dasar pertanian (kapas) sampai pengolahan (di pabrik).
Dengan demikian, setiap orang di dunia rata-rata mengkonsumsi 1,24 juta liter air per tahun, atau setara dengan setengah air di kolam renang berkelas Olimpiade. Secara nasional kebutuhan ini akan mencapai antara 1,48 juta liter per orang per tahun di AS dan 619 ribu liter per kapita di Yaman.Perubahan iklim hampir pasti memperburuk kelangkaan air yang telah menghantam 50 negara dewasa ini, tutup WWF.
Sebuah kata sederhana yang mungkin jarang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi seringkali kita praktekkan langsung baik secara sadar maupun tidak sadar. Kita semua melakukan hal tersebut setiap saat tanpa menyadarinya. Tahukah Anda semakin sering kita mengeluh, maka semakin sering pula kita mengalami hal tersebut.
Mengeluh adalah hal yang sangat mudah dilakukan dan bagi beberapa orang hal ini menjadi suatu kebiasaan dan parahnya lagi mengeluh menjadi suatu kebanggaan. Bila Anda memiliki dua orang teman, yang pertama selalu berpikiran positif dan yang kedua selalu mengeluh, tentunya Anda akan lebih senang berhubungan dengan yang berpikiran positif bukan ?
Menjadi seorang yang suka mengeluh mungkin bisa mendapatkan simpati dari teman kita, tetapi tidak akan membuat kita memiliki lebih banyak teman dan tidak akan menyelesaikan masalah kita, bahkan bisa membuat kita kehilangan teman-teman kita.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kita mengeluh? Kita mengeluh karena kita kecewa bahwa realita yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita. Bagaimana kita mengatasi hal ini. Caranya sebenarnya gampang-gampang susah, kita hanya perlu bersyukur.
Di balik semua hal yang kita keluhkan PASTI ADA hal yang dapat kita syukuri. Sebagai ilustrasi, Anda mengeluh dengan pekerjaan Anda. Tahukah Anda berapa banyak jumlah pengangguran yang ada di Indonesia? Sekarang ini hampir 60% orang pada usia kerja produktif tidak bekerja, jadi bersyukurlah Anda masih memiliki pekerjaan dan penghasilan. Atau Anda mengeluh karena disuruh lembur atau disuruh melakukan kerja ekstra. Tahukah Anda bahwa sebenarnya atasan Anda percaya kepada kemampuan Anda? Kalau Anda tidak mampu tidak mungkin atasan Anda menyuruh Anda lembur atau memberikan pekerjaan tambahan. Bersyukurlah karena Anda telah diberikan kepercayaan oleh atasan Anda.
Bersyukurlah lebih banyak dan percayalah hidup Anda akan lebih mudah dan keberuntungan senantiasa selalu bersama Anda, karena Anda dapat melihat hal-hal yang selama ini mungkin luput dari pandangan Anda karena Anda terlalu sibuk mengeluh.
Cobalah beberapa tips berikut ini, agar anda bisa menikmati dunia ini:
1. Bersyukurlah setiap hari setidaknya satu kali sehari. Bersyukurlah atas pekerjaan Anda, kesehatan Anda, keluarga Anda atau apapun yang dapat Anda syukuri. Ambilah waktu selama 10-30 detik saja untuk bersyukur kemudian lanjutkan kembali kegiatan Anda.
2. Jangan mengeluh bila Anda menghadapi kesulitan tetapi lakukanlah hal berikut ini. Tutuplah mata Anda, tarik nafas panjang, tahan sebentar dan kemudian hembuskan pelan-pelan dari mulut Anda, buka mata Anda, tersenyumlah dan pikirkanlah bahwa suatu saat nanti Anda akan bersyukur atas semua yang terjadi pada saat ini.
3. Biasakan diri untuk tidak ikut-ikutan mengeluh bila Anda sedang bersama teman-teman yang sedang mengeluh dan beri tanggapan yang positif atau tidak sama sekali. Selalu berpikir positif dan lihatlah perubahan dalam hidup Anda.
"Semakin banyak Anda bersyukur kepada Tuhan atas apa yang Anda miliki, maka semakin banyak hal yang akan Anda miliki untuk disyukuri."
Musim hujan sudah berlangsung selama dua bulan sehingga di mana-mana pepohonan tampak menjadi hijau. Seekor ulat menyeruak di antara daun-daun hijau yang bergoyang diterpa angin. "Apa kabar daun hijau!!!" katanya. Tersentak daun hijau menoleh ke arah suara yang datang. "Oo, kamu ulat. Badanmu kelihatan kecil dan kurus, mengapa?" tanya daun hijau.. "Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk makananku. Biasakah kamu membantu aku "Tentu ... tentu ... datanglah ke mari."
Daun hijau berpikir, jika aku memberikan sedikit dari tubuhku ini untuk makanan si ulat, aku akan tetap hijau, hanya saja aku akan kelihatan belubang-lubang, tapi tidak apalah. Perlahan-lahan ulat menggerakkan tubuhnya menuju daun hijau. Setelah kenyang, ulat berterima kasih kepada daun hijau yang telah merelakan bagian tubuhnya menjadi makanan si ulat.
Ketika ulat mengucapkan terima kasih kepada sahabat yang penuh kasih dan pengorbanan itu, ada rasa puas di dalam diri daun hijau. Sekalipun tubuhnya kini berlubang-lubang, namun ia bahagia bisa melakukan sesuatu bagi ulat kecil yang lapar. Lalu musim panas datang, daun hijau menjadi kering dan berubah warna. Akhirnya ia jatuh ke tanah, disapu orang dan dibakar.
Apa yang begitu berarti di dalam hidup kita sehingga kita tidak mau berkorban sedikit saja bagi orang lain?. Daun hijau yang baik mewakili orang-orang yang masih mempunyai "hati" bagi sesamanya. Yang tidak menutup mata ketika melihat sesamanya dalam kesulitan. Yang tidak membelakangi dan seolah-olah tidak mendengar ketika sesamanya berteriak minta tolong. Ia rela melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain dan sejenak mengabaikan kepentingan diri sendiri.
Memang tidak mudah merelakan kepentingan diri sendiri bagi orang lain, apalagi bagi orang yang tidak kita kenal, tetapi rasanya lebih indah. Ketika berkorban, kita sendiri menjadi seperti daun yang berlobang, namun itu sebenarnya tidak mempengaruhi hidup kita. Kita akan tetap hijau, Allah akan tetap memberkati dan memelihara kita.
Bagi "daun hijau", berkorban merupakan sesuatu yang begitu indah serta memuaskan. Dia bahagia melihat sesamanya bisa tersenyum karena pengorbanan yang ia lakukan. Ia juga melakukannya karena menyadari bahwa ia tidak akan selamanya tinggal sebagai daun hijau. Suatu hari ia akan kering dan jatuh.
Begitu juga dengan hidup kita, hidup ini hanya sementara kemudian kita akan mati. Itulah sebabnya isilah hidup ini dengan banyak berbuat baik: kasih, pengorbanan, pengertian, kesetiaan, kesabaran dan kerendahan hati. Jadikanlah berkorban itu sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membawa sukacita tersendiri bagi anda. Mendahulukan kepentingan sesama, melakukan sesuatu bagi mereka, memberikan apa yang kita punyai dan masih banyak lagi pengorbanan yang bisa dilakukan.
Pluralisme suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang ada di negeri ini bukan lah hal baru, tetapi sudah ada sejak lama. Dalam beberapa decade kekuasaan Negara, kekayaan ini tidak dijadikan sebagai sumber potensial untuk kepentingan bersama seluruh rakyat, tetapi justru menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan atau untuk kepentingan kelompok tertentu. Bahkan kata SARA itupun dianggap seolah-olah sebagai racun atau barang haram yang tiak boleh dibicarakan dan dikembangkan di masyarakat.
SARA dan kemajemukannya, disatu pihak menjadi kebanggaan pemerintah yang selalu dipromosikan sebagai kekayaan bangsa, di pihak lain lagi masyarakatnya sendiri yang menjadi sesuatu yang mengancam.
Memasuki era baru, SARA sudah seharusnya dikembalikan kepada maknanya yang sebenarnya, yaitu kekayaan masyarakat-bangsa. Dengan begitu diharapkan antar SARA menjadi suatu yang produktif dan permasalahan yang muncul disekitarnya menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian kemajemukan bangsa bukan sekedar kenyataan yang harus dislogankan, tetapi sebuah realitas dengan interaksi riil dalam kehidupan bermasyarakat yang harus dihadapi dan dikelola.
Konflik merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajemukan SARA, baik yang positif-konstruktif, maupun negative-destruktif. Konflik bagi masyarakat Indonesia umumnya sesuatu yang tabu, karena selama ini dianggap sebagai sesuatu yang negative dan perlu dihindari. Keadaan ini sudah menjadi bentuk pendidikan di Negara yang tidak mendidik masyarakat untuk terbuka konflik yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan. Masyarakat tidak dididik untuk bisa menghadapi dan mengelola konflik atau lebih jelas lagi masyarakat tidak dididik untuk mampu menerima pluralitas, kepelbagai secara obyektif, terbuka. Masyarakat disekat-sekat sedemikian rupa, dengan penekanan pada sisi perbandingan jumlah secara kuantitas, dibandingkan peningkatan mutu masing-masing, dalam rangka hidup bersama. Jangan heran bila umat beragama, pada tingkat social sekalipun dalam jumlah relative tidak besar tetapi memberikan pengaruh mudah terpancing. Pengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis atas nama demi agama, ”dirukunkan” pada bagian permukaan saja, antar elite pemerintah, termasuk tokoh/pemimpin agama, demi kepentingan tertentu dan sesaat, tidak menyentuh keakraban serta hubungan-hubungan interaktif yang kongkrit di masyarakat dengan permasalahannya. Kerukunan antar umat beragama hanya berdasarkan hubungan sesaat sifatnya lebih politis, dibandingkan dengan demokratis-manusiawi dan berjangka panjang.
Memang peersoalan konflik antar agama yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak bisa dipahami dan ditangani secara terisolasi. Gejala kekerasan antar pemeluk agama tidak bisa dilepaskan dari persoalan asasi yang muncul di masyarakat, bangsa, dan Negara yang mengalami krisis multidimensional. Selain itu selalu ada factor local, regional, nasional dan internasional. Ketegangan serta persaingan dikalangan elite pada semua tingkat, persaingan dikalangan elite sipil dan militer, serta kepentingan-kepentingan ekonomi, politik yang berbeda, dengan ekspresinya masing-masing. Namun demikian, agama tetap memiliki andil penting dalam rangka antisipasi dan rekonsiliasi.
Perdamaian adalah harapan setiap orang. Perdamaian tidak berarti membuat orang harus menghindar dari konflik, atau dari perbedaan tetapi justru menghargai perbedaan. Pertanyaannya adalah, sampai sejauhmana masyarakat plural di Indonesia menghargai perbedaan? Ini merupakan pertanyaan mendasar yang perlu dijawab.
Dialog rekonsiliasi merupakan kata kunci ari perdamaian. Minimal, sebagai cara untuk memulihkan keadaan pluralistic yang sudah tersegregasi secara mengental, yang berakibat, bukan saja secara geografis, fisik, tetapi juga secara psikologis, emosional dan sangat mengganggu pada mental, kepercayaan, sikap dan lain sebagainya. Di sini pentingnya kemampuan masyarakat untuk kepelbagai perbedaan dan mengelola konflik.
Dalam kontek ini, pluralitas masyarakat merupakan realitas manusiawi-alamiah, dimana konflik menjadi sebuah logika yang tidak bisa ditolak dan perdamaian harus diusahakan.
PLURALISME
Secara harafiah pluralisme berarti jamak. Oleh sebab itu sesuatu yang dik atakan plural sesantiasa terdiri dari banyak hal, berbagai jenis, berbagai sudut serta latar belakang.
Pluralisme SARA adalah kenyataan yang terdiri atas beberapa, berbagai banyak atau lebih dari satu suku, agama, ras, dan antar-golongan. Misalnya suku Dayak, Jawa, Padang, Batak, Madura, Ambon, Tionghua, dll, yang memiliki karakter social budaya, serta latar belakang sejarah yang berbeda-beda.
Secara khusus alam hal agama, tidak menuntut kemungkinan masyarakat suku-suku yang disebutkan diatas menganut agama/kepercayaan berbeda-beda. Dalam komunitas suku Jawa, misal ada yang beragama Islam, Hindu, Budha, Kristen atau yang lain. Kemudian suku Batak, misalnya ada yang beragama Islam, Hindu, Budha, Kristen atau yang lain. Demikian juga dengan suku-suku yang lainnya. Tidak ada lagi wilayah komunits kesukuan yang apat disebut sebagai “wilayah khusus komunitas Islam” atau “wilayah khusus komunitas Kristen”. Semua sudah membaur dan berkembang dimana-mana, bahkan sejak dari lingkungan keluarga. Semakin banyak keluarga yang anggotanya memiliki keanekaragaman latar belakang agama dan suku, melalui perkawinan-perkawinan atau pergaulan atau yang lainnya.
Pertanyaan yang muncul adalah, apa makna pluralisme agama bagi kita dalam rangka hidup bersama? Apa signifikansi pluralisme agama bagi masyarakat? Pertanyaan ini berkaitan erat dengan pertanyaan berikutnya, bagaimana bersikap pluralis? Sikap yang secara empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu hidup menghormati, memahami dan mengakui diri sendiri. Tidak ada paksaan, tidak mementingkan diri dan kelompok sendiri, keterusterangan, terbukaan, kritik (kepada diri sendiri / kelompok sendiri dan keluar).
Dalam gambaran semacam itu, dapat dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan, saling merendahkan atau mencampur-adukan antar agama yang satu dengan agama yang lain, tetapi justru menempatkan pada posisi saling mengakui dan bekerjasama.
Kita dapat belajar kekayaan spiritual serta nilai-nilai makna dari agama lain untuk memperkaya pengalaman iman kita. Bukan belajar untuk mencari-cari kekurangan dan kelemahan agama lain untuk bisa memojokan atau menganggap bahwa agama yang lain tiak benar dan agama kita sendirilah yang (paling) benar. Dengan demikian, pluralisme merupakan kekayaan bersama.
KONFLIK
Konflik merupakan satu-kesatuan dengan pluralisme. Tidak ada pluralisme tanpa konflik, kecuali bila direkayasa demikian rupa sehingga konflik bisa ditutup-tutupi atau diperam, sebagaimana dengan jelas dapat dirasakan selama masa pemerintahan khususnya Orde Baru dan sekarang ini pun, hampir kepelbagai direkayasa supaya menjadi seragam, sama dan sebangun, misalnya, pendapat harus sama sekalipun pikiran-pikiran yang ada berbeda, semua harus memakai pakaian dinas yang sama, sekalipun kemampuannya berbeda. Struktur birokratis di masyarakat harus sama, sampai di plosok desa.
Konflik sebagai salah satu bentuk dinamika realita pluralisme. Ketika masyarakat yang berbeda-beda agama atau suku berinteraksi, pada saat itu, kemungkinan terjadinya konflik menjadi sangat terbuka. Pertanyaannya adalah, apakah dinamika interaksi kepelbagaian itu adalah sesuatu yang bebas-alamiah bagi masyarakat? Atau direkayasa? Apakah masyarakat dipersiapkan untuk mampu menghadapi dan menanganinya? Dalam kenyataannya, selama ini masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang terbuka mengenai konflik, dalam arti sesungguhnya. Tetapi justru dididik supaya menjauhi atau menghindar dari konflik. Konflik diberi wajah sebagai sebuah realitas negatif yang menakutkan, mengerikan dan berbahaya, bukan sebagai sebuah dinamika positif yang konstruktif.
Konflik agama bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, factor diluar agama, misalnya factor social-ekonomi: ketidak-adilan, kemiskinan. Misalnya tingkat ekonomi warga yang beragama Kristen lebih baik, keadaan ini dapat menimbulkan kecemburuan, apalagi bila ada tindakan-tindakan tidak adil dari pengusaha setempat terhadap warga masyarakat menurut category kelompok agama. Factor politik: agama dipakai sebagai legitimasi kekuasaan, atau kekuatan untuk berpolitik dan mengorbankan orang atau kelompok lawan politik. Kedua, factor dari dalam. Tidak dapat disangkal bahwa agama-agama, didalam dirinya sendiri mengandung potensi konflik. Contohnya, ada teks-teks kitab suci agama yang sering dijadikan kekuatan legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok agama lain, bahkan pembunuhan.
Dengan kata lain, konflik termasuk konflik agama bisa terjadi secara alamiah sebagai konsekuensi logis dari perbedaan, tetapi juga bisa terjadi karena direkayasa.
PERDAMAIAN
Perdamaian merupakan gagasan yang ideal dari semua bangsa, harapan umat manusia di bumi ini. Ada yang menggambarkan perdamaian secara analogis dengan surga, yang diimpikan sebagai sebuah keadaan yang sangat menyenangkan, aman, tenang, dan damai (sekalipun konsep tentang surge masih perlu didiskusikan). Seakan-akan tidak ada perbedaan lagi, semua sama dan sangat menyenangkan dan membahagiakan.
Tetapi, menarik sekali rumusan yang disampaikan oleh beberapa peserta semiloka di beberapa daerah (Pontianak, Yogyakarta, Palu dan Ambon), bahwa perdamaian bukanlah sebuah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan, tetapi justru yang menghargai perbedaan, perdamaian tidak harus semuanya sama, tetapi saling menghormati.
Perdamaian dalam konteks kehidupan pluralisme agama, adalah ketika umat beragama yang satu menghormati dan menghargai umat yang lainnya. Rasa hormat dan menghargai ini, bukan karena kepentingan tertentu, tetapi dengan tulus, jujur, dan kondusif. Ini bisa terjadi bila masing-masing mampu menguatkan dirinya agar tidak mudah dipengaruhi oleh apapun dan siapapun juga, yang akan memakai agama atau memperalat muatan agama untuk melakukan hal-hal yang meremehkan rasa hormat terhadap pelbagaian. Bisa juga karena masyarakat mampu membebaskan dirinya dari pikiran dan sikap absolutism-doktriner dan menerima serta terbuka terhadap sikap dan pikiran-pikiran pluralis.
Konsekuensinya adalah, masing-masing agama harus terbuka untuk melakukan autokritik, sekaligus terbuka untuk dikritik dan melakukan hubungan-hubungan dialogis dan konstruktif. Disitulah nilai-nilai kemanusiaan dipertaruhkan dan makna nilai-nilai agama menjadi kongkrit. Perdamaian dengan demikian bukanlah sebuah mimpi yang maya, melainkan realitas obyektif yang kongkrit dialami manusia.
Dari kebanyakan sejarahnya, Borneo jarang ditinggali oleh manusia. Iklim yang tak bersahabat dan lebatnya hutan hujan membuat populasinya kecil dan menyebar. Namun setengah abad ini semua telah berubah. Pengaruh dari masuknya setengah juta transmigran ke Borneo selama 30 tahun ini telah melipatgandakan populasi pulau tersebut dan memunculkan besarnya kebutuhan kerja. Awalnya industri karet dan penebangan kayu menyediakan lapangan pekerjaan, tapi ketika runtuh di pertengahan Malaysia) hingga akhir (Indonesia) 1990an, kesempatan kerja ikut menghilang bagi kebanyakan penduduk lokal. Walau bagitu, ratusan pendatang baru terus muncul di Borneo setiap minggunya.
Meningkatnya pengangguran adalah masalah yang serius di Borneo pada akhir 1990an dan awal 2000an dan konflik etnis mengamuk di bagian-bagian Kalimantan pada saat itu. Munculnya kelapa sawit di akhir 1990an dan awal 200an dilihat sebagai kesempatan baru bagi penduduk dan pemerintah lokal. Pengamat saat ini hanya melihat biaya total yang harus dibayar akibat pertumbuhan cepat dalam sektor ini.
Dampak Lingkungan
Dibalik penggundulan hutan sebagai hasil dari membuka hutan hujan di dataran rendah untuk perkebunan (86 persen dari penggundulan hutan di Malaysia dari 1995-2000 adalah untuk perkebunan kelapa sawit), ada dampak lain terhadap lingkunan hidup dari penanaman kelapa sawit. Beberapa studi telah menemukan penurunan jumlah (80 persen untuk tanaman dan 80-90 persen untuk mamalia, burung, dan reptilia) dalam keragaman hayati menyusul diubahnya hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Lebih jauh lagi, banyak hewan tak akan masuk ke perkebunan, namun lainnya, seperti orangutan, menjadi hama tanaman perkebunan dan membahayakan mereka dari perburuan liar para petugas perkebunan atas dasar defensif. Penggunaan herbisida dan pestisida dapat pula berdampak pada komposisi spesies dan menjadi polusi di aliran sungai lokal.
Dibutuhkan sistem pengeringan yang dibutuhkan untuk perkebunan (perkebunan kelapa sawit di Borneo biasanya didirikan di hutan rawa) bisa menurunkan tingkat air di hutan-hutan sekitarnya. Selain itu, perusakan lahan gambut meningkatkan resiko datangnya banjir dan kebakaran. Pembukaan hutan dengan api yang dinyalakan oleh pemilik perkebunan kelapa sawit besar adalah penyebab terbesar satu-satunya pada kebakaran di Borneo pada tahun 1997-1998.
Dampak Sosial
Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit baru mulai dipahami, sebagian besar berkat kerja dari Dr. Lisa CUrran. Walau tak diragukan lagi bahwa perkebunan kelapa sawit menyediakan kesempatan kerja yang besar di Borneo, ada keraguan mengenai keadilan dari sistem yang ada, yang sepertinya kadang kala menjadikan para pemilik perkebunan kecil dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan.
Kelangkaan dari kayu di beberapa bagian Borneo, membuat para penduduknya saat ini hanya memiliki beberapa pilihan untuk mengatasi perekonomian. Kelapa sawit sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan. Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, beberapa anggota masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit. Karena mereka tak memiliki kepemilikan legal atas tanah mereka, kesepakatan biasanya dibuat sehingga mereka memiliki 2-3 hektar (508 are) lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Mereka biasanya meminjam 3.000-6.000 USD (dengan bunga 30 persen per tahun) dari perusahaan induknya untuk biaya bibit, pupuk, dan kelengkapan lain. Karena kelapa sawit membutuhkan sekitar 7 tahun untuk berbuah, mereka bekerja seperti buruh dengan bayaran 2,5 USD per hari di perkebunan besar.
Sementara lahan mereka belum menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan kelapa sawit. Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2 hektar adalah 682-900 USD per bulan. Di masa lalu, karet dan kayu menghasilkan 350-1.000 USD per bulan, menurut Curran. Rendahnya pendapatan digabung dengan tingginya modal yang dibutuhkan dan tingginya bunga pinjaman tampaknya akan membuat para pemilik kecil ini tetap terus-menerus berhutang pada perusahaan kelapa sawit.
Menurut Curran, hutang ini, ditambah dengan total ketergantungan pada perusahaan yang tak bisa mereka percaya, mempunyai dampak psikologis pada masyarakat. Karena tak ada jalan untuk melawan tindakan perusahaan, konflik pun muncul di dalam masyarakat, terutama bila sebagian besar masyarakat melawan perusahaan tersebut Dayak sering melawan rencana perusahaan kelapa sawit).
Sering kali maksud-maksud rahasia digunakan untuk menguasai suatu masyarakat. Sebagai contoh, sebuah hadiah sepeda motor bisa memenangkan pengaruh atas pemimpin-pemimpin masyarakat. Ketika telah mendapatkan persetujuan, perusahaan kelapa sawit akan bernegosiasi satu per satu dengan tiap kepala rumah tangga, untuk menghilangkan kekuatan menawar yang lebih tinggi dari masyarakat lain.
Survei yang dilakukan oleh Curran menunjukkan bahwa masyarakat di daerah Kalimantan Barat sangat prihatin dengan munculnya banjir setelah diberdirikannya perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Mereka juga khawatir akan kehilangan budaya dan hasil-hasil hutan - anggota tua masyarakat tidak selalu menyetujui wanita dan anak-anak bekerja di perkebunan. Penanaman kelapa sawit juga membuat penduduk lokal lebih tergantung pada perusahaan pertanian karena mereka tak lagi menanam makanan mereka sendiri. Terakhir, beberapa masyarakat telah menyatakan ketidakpuasannya bekerja pada pihak Malaysia. Walau mereka memiliki banyak keluhan, yang lain melihatnya sebagai alternatif.
Sementara, perusahaan kelapa sawit meraup keuntungan besar. Menurut perhitungan Curran, beberapa perusahaan di Kalimantan Barat akan mendapatkan 26 persen tingkat pengembalian modal per tahunnya selama 25 tahun, sebuah angka yang luar biasa.
"Perusahaan-perusahaan mendapatkan banyak yang tanpa banyak perhitungan," kata Curran, dalam ceramahnya di Stanford University, Januari 2007.
What are human rights?
Human rights are rights inherent to all human beings, whatever our nationality, place of residence, sex, national or ethnic origin, colour, religion, language, or any other status. We are all equally entitled to our human rights without discrimination. These rights are all interrelated, interdependent and indivisible.
Universal human rights are often expressed and guaranteed by law, in the forms of treaties, customary international law, general principles and other sources of international law. International human rights law lays down obligations of Governments to act in certain ways or to refrain from certain acts, in order to promote and protect human rights and fundamental freedoms of individuals or groups.
Universal and inalienable
The principle of universality of human rights is the cornerstone of international human rights law. This principle, as first emphasized in the Universal Declaration on Human Rights in 1948, has been reiterated in numerous international human rights conventions, declarations, and resolutions. The 1993 Vienna World Conference on Human Rights, for example, noted that it is the duty of States to promote and protect all human rights and fundamental freedoms, regardless of their political, economic and cultural systems.
All States have ratified at least one, and 80% of States have ratified four or more, of the core human rights treaties, reflecting consent of States which creates legal obligations for them and giving concrete expression to universality. Some fundamental human rights norms enjoy universal protection by customary international law across all boundaries and civilizations.
Human rights are inalienable.
They should not be taken away, except in specific situations and according to due process. For example, the right to liberty may be restricted if a person is found guilty of a crime by a court of law.
Interdependent and indivisible
All human rights are indivisible, whether they are civil and political rights, such as the right to life, equality before the law and freedom of expression; economic, social and cultural rights, such as the rights to work, social security and education , or collective rights, such as the rights to development and self-determination, are indivisible, interrelated and interdependent. The improvement of one right facilitates advancement of the others. Likewise, the deprivation of one right adversely affects the others.
Equal and non-discriminatory
Non-discrimination is a cross-cutting principle in international human rights law. The principle is present in all the major human rights treaties and provides the central theme of some of international human rights conventions such as the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination and the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women.
The principle applies to everyone in relation to all human rights and freedoms and it prohibits discrimination on the basis of a list of non-exhaustive categories such as sex, race, colour and so on. The principle of non-discrimination is complemented by the principle of equality, as stated in Article 1 of the Universal Declaration of Human Rights: “All human beings are born free and equal in dignity and rights.”
Both Rights and Obligations
Human rights entail both rights and obligations. States assume obligations and duties under international law to respect, to protect and to fulfil human rights. The obligation to respect means that States must refrain from interfering with or curtailing the enjoyment of human rights. The obligation to protect requires States to protect individuals and groups against human rights abuses. The obligation to fulfil means that States must take positive action to facilitate the enjoyment of basic human rights. At the individual level, while we are entitled our human rights, we should also respect the human rights of others.