15 Oktober 2008

TRANSFORMASI SOSIAL; KONFLIK DAN PERDAMAIAN

Pluralisme suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang ada di negeri ini bukan lah hal baru, tetapi sudah ada sejak lama. Dalam beberapa decade kekuasaan Negara, kekayaan ini tidak dijadikan sebagai sumber potensial untuk kepentingan bersama seluruh rakyat, tetapi justru menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan atau untuk kepentingan kelompok tertentu. Bahkan kata SARA itupun dianggap seolah-olah sebagai racun atau barang haram yang tiak boleh dibicarakan dan dikembangkan di masyarakat.

SARA dan kemajemukannya, disatu pihak menjadi kebanggaan pemerintah yang selalu dipromosikan sebagai kekayaan bangsa, di pihak lain lagi masyarakatnya sendiri yang menjadi sesuatu yang mengancam.

Memasuki era baru, SARA sudah seharusnya dikembalikan kepada maknanya yang sebenarnya, yaitu kekayaan masyarakat-bangsa. Dengan begitu diharapkan antar SARA menjadi suatu yang produktif dan permasalahan yang muncul disekitarnya menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian kemajemukan bangsa bukan sekedar kenyataan yang harus dislogankan, tetapi sebuah realitas dengan interaksi riil dalam kehidupan bermasyarakat yang harus dihadapi dan dikelola.

Konflik merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajemukan SARA, baik yang positif-konstruktif, maupun negative-destruktif. Konflik bagi masyarakat Indonesia umumnya sesuatu yang tabu, karena selama ini dianggap sebagai sesuatu yang negative dan perlu dihindari. Keadaan ini sudah menjadi bentuk pendidikan di Negara yang tidak mendidik masyarakat untuk terbuka konflik yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan. Masyarakat tidak dididik untuk bisa menghadapi dan mengelola konflik atau lebih jelas lagi masyarakat tidak dididik untuk mampu menerima pluralitas, kepelbagai secara obyektif, terbuka. Masyarakat disekat-sekat sedemikian rupa, dengan penekanan pada sisi perbandingan jumlah secara kuantitas, dibandingkan peningkatan mutu masing-masing, dalam rangka hidup bersama. Jangan heran bila umat beragama, pada tingkat social sekalipun dalam jumlah relative tidak besar tetapi memberikan pengaruh mudah terpancing. Pengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis atas nama demi agama, ”dirukunkan” pada bagian permukaan saja, antar elite pemerintah, termasuk tokoh/pemimpin agama, demi kepentingan tertentu dan sesaat, tidak menyentuh keakraban serta hubungan-hubungan interaktif yang kongkrit di masyarakat dengan permasalahannya. Kerukunan antar umat beragama hanya berdasarkan hubungan sesaat sifatnya lebih politis, dibandingkan dengan demokratis-manusiawi dan berjangka panjang.


Memang peersoalan konflik antar agama yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak bisa dipahami dan ditangani secara terisolasi. Gejala kekerasan antar pemeluk agama tidak bisa dilepaskan dari persoalan asasi yang muncul di masyarakat, bangsa, dan Negara yang mengalami krisis multidimensional. Selain itu selalu ada factor local, regional, nasional dan internasional. Ketegangan serta persaingan dikalangan elite pada semua tingkat, persaingan dikalangan elite sipil dan militer, serta kepentingan-kepentingan ekonomi, politik yang berbeda, dengan ekspresinya masing-masing. Namun demikian, agama tetap memiliki andil penting dalam rangka antisipasi dan rekonsiliasi.

Perdamaian adalah harapan setiap orang. Perdamaian tidak berarti membuat orang harus menghindar dari konflik, atau dari perbedaan tetapi justru menghargai perbedaan. Pertanyaannya adalah, sampai sejauhmana masyarakat plural di Indonesia menghargai perbedaan? Ini merupakan pertanyaan mendasar yang perlu dijawab.

Dialog rekonsiliasi merupakan kata kunci ari perdamaian. Minimal, sebagai cara untuk memulihkan keadaan pluralistic yang sudah tersegregasi secara mengental, yang berakibat, bukan saja secara geografis, fisik, tetapi juga secara psikologis, emosional dan sangat mengganggu pada mental, kepercayaan, sikap dan lain sebagainya. Di sini pentingnya kemampuan masyarakat untuk kepelbagai perbedaan dan mengelola konflik.

Dalam kontek ini, pluralitas masyarakat merupakan realitas manusiawi-alamiah, dimana konflik menjadi sebuah logika yang tidak bisa ditolak dan perdamaian harus diusahakan.

PLURALISME
Secara harafiah pluralisme berarti jamak. Oleh sebab itu sesuatu yang dik atakan plural sesantiasa terdiri dari banyak hal, berbagai jenis, berbagai sudut serta latar belakang.

Pluralisme SARA adalah kenyataan yang terdiri atas beberapa, berbagai banyak atau lebih dari satu suku, agama, ras, dan antar-golongan. Misalnya suku Dayak, Jawa, Padang, Batak, Madura, Ambon, Tionghua, dll, yang memiliki karakter social budaya, serta latar belakang sejarah yang berbeda-beda.

Secara khusus alam hal agama, tidak menuntut kemungkinan masyarakat suku-suku yang disebutkan diatas menganut agama/kepercayaan berbeda-beda. Dalam komunitas suku Jawa, misal ada yang beragama Islam, Hindu, Budha, Kristen atau yang lain. Kemudian suku Batak, misalnya ada yang beragama Islam, Hindu, Budha, Kristen atau yang lain. Demikian juga dengan suku-suku yang lainnya. Tidak ada lagi wilayah komunits kesukuan yang apat disebut sebagai “wilayah khusus komunitas Islam” atau “wilayah khusus komunitas Kristen”. Semua sudah membaur dan berkembang dimana-mana, bahkan sejak dari lingkungan keluarga. Semakin banyak keluarga yang anggotanya memiliki keanekaragaman latar belakang agama dan suku, melalui perkawinan-perkawinan atau pergaulan atau yang lainnya.

Pertanyaan yang muncul adalah, apa makna pluralisme agama bagi kita dalam rangka hidup bersama? Apa signifikansi pluralisme agama bagi masyarakat? Pertanyaan ini berkaitan erat dengan pertanyaan berikutnya, bagaimana bersikap pluralis? Sikap yang secara empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu hidup menghormati, memahami dan mengakui diri sendiri. Tidak ada paksaan, tidak mementingkan diri dan kelompok sendiri, keterusterangan, terbukaan, kritik (kepada diri sendiri / kelompok sendiri dan keluar).

Dalam gambaran semacam itu, dapat dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan, saling merendahkan atau mencampur-adukan antar agama yang satu dengan agama yang lain, tetapi justru menempatkan pada posisi saling mengakui dan bekerjasama.

Kita dapat belajar kekayaan spiritual serta nilai-nilai makna dari agama lain untuk memperkaya pengalaman iman kita. Bukan belajar untuk mencari-cari kekurangan dan kelemahan agama lain untuk bisa memojokan atau menganggap bahwa agama yang lain tiak benar dan agama kita sendirilah yang (paling) benar. Dengan demikian, pluralisme merupakan kekayaan bersama.

KONFLIK
Konflik merupakan satu-kesatuan dengan pluralisme. Tidak ada pluralisme tanpa konflik, kecuali bila direkayasa demikian rupa sehingga konflik bisa ditutup-tutupi atau diperam, sebagaimana dengan jelas dapat dirasakan selama masa pemerintahan khususnya Orde Baru dan sekarang ini pun, hampir kepelbagai direkayasa supaya menjadi seragam, sama dan sebangun, misalnya, pendapat harus sama sekalipun pikiran-pikiran yang ada berbeda, semua harus memakai pakaian dinas yang sama, sekalipun kemampuannya berbeda. Struktur birokratis di masyarakat harus sama, sampai di plosok desa.

Konflik sebagai salah satu bentuk dinamika realita pluralisme. Ketika masyarakat yang berbeda-beda agama atau suku berinteraksi, pada saat itu, kemungkinan terjadinya konflik menjadi sangat terbuka. Pertanyaannya adalah, apakah dinamika interaksi kepelbagaian itu adalah sesuatu yang bebas-alamiah bagi masyarakat? Atau direkayasa? Apakah masyarakat dipersiapkan untuk mampu menghadapi dan menanganinya? Dalam kenyataannya, selama ini masyarakat tidak mendapatkan pendidikan yang terbuka mengenai konflik, dalam arti sesungguhnya. Tetapi justru dididik supaya menjauhi atau menghindar dari konflik. Konflik diberi wajah sebagai sebuah realitas negatif yang menakutkan, mengerikan dan berbahaya, bukan sebagai sebuah dinamika positif yang konstruktif.

Konflik agama bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, factor diluar agama, misalnya factor social-ekonomi: ketidak-adilan, kemiskinan. Misalnya tingkat ekonomi warga yang beragama Kristen lebih baik, keadaan ini dapat menimbulkan kecemburuan, apalagi bila ada tindakan-tindakan tidak adil dari pengusaha setempat terhadap warga masyarakat menurut category kelompok agama. Factor politik: agama dipakai sebagai legitimasi kekuasaan, atau kekuatan untuk berpolitik dan mengorbankan orang atau kelompok lawan politik. Kedua, factor dari dalam. Tidak dapat disangkal bahwa agama-agama, didalam dirinya sendiri mengandung potensi konflik. Contohnya, ada teks-teks kitab suci agama yang sering dijadikan kekuatan legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok agama lain, bahkan pembunuhan.

Dengan kata lain, konflik termasuk konflik agama bisa terjadi secara alamiah sebagai konsekuensi logis dari perbedaan, tetapi juga bisa terjadi karena direkayasa.

PERDAMAIAN
Perdamaian merupakan gagasan yang ideal dari semua bangsa, harapan umat manusia di bumi ini. Ada yang menggambarkan perdamaian secara analogis dengan surga, yang diimpikan sebagai sebuah keadaan yang sangat menyenangkan, aman, tenang, dan damai (sekalipun konsep tentang surge masih perlu didiskusikan). Seakan-akan tidak ada perbedaan lagi, semua sama dan sangat menyenangkan dan membahagiakan.

Tetapi, menarik sekali rumusan yang disampaikan oleh beberapa peserta semiloka di beberapa daerah (Pontianak, Yogyakarta, Palu dan Ambon), bahwa perdamaian bukanlah sebuah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan, tetapi justru yang menghargai perbedaan, perdamaian tidak harus semuanya sama, tetapi saling menghormati.

Perdamaian dalam konteks kehidupan pluralisme agama, adalah ketika umat beragama yang satu menghormati dan menghargai umat yang lainnya. Rasa hormat dan menghargai ini, bukan karena kepentingan tertentu, tetapi dengan tulus, jujur, dan kondusif. Ini bisa terjadi bila masing-masing mampu menguatkan dirinya agar tidak mudah dipengaruhi oleh apapun dan siapapun juga, yang akan memakai agama atau memperalat muatan agama untuk melakukan hal-hal yang meremehkan rasa hormat terhadap pelbagaian. Bisa juga karena masyarakat mampu membebaskan dirinya dari pikiran dan sikap absolutism-doktriner dan menerima serta terbuka terhadap sikap dan pikiran-pikiran pluralis.

Konsekuensinya adalah, masing-masing agama harus terbuka untuk melakukan autokritik, sekaligus terbuka untuk dikritik dan melakukan hubungan-hubungan dialogis dan konstruktif. Disitulah nilai-nilai kemanusiaan dipertaruhkan dan makna nilai-nilai agama menjadi kongkrit. Perdamaian dengan demikian bukanlah sebuah mimpi yang maya, melainkan realitas obyektif yang kongkrit dialami manusia.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

nice post. :)
mudah-mudahan suatu hari nanti di negara kita benar-benar bisa terwujud kehidupan masyarakat yang hidup damai bebas konflik ya

Anonim mengatakan...

Semua kita berharap, di Indonesia lahir manusia yang cerdas dan beriman. Tapi tidak lupa akan pluralisme yang ada dan menjaganya sebagai asset bangsa yang tak tergantikan.

SILAHKAN DUKUNG BLOG INI

KE REKENING BCA 8855 1274 62 AN. ATENG