Manusia adalah mahkluk pembelajar, terutama belajar dari induknya (Bosco, 2003). Kenyataan sekarang, generasi tua terluka oleh konflik-konflik kekerasan. Sejak tahun 1960-an, Kalimantan Barat memang selalu diancam dengan konflik kekerasan yang berbau etnik. Dalam setiap konflik itu, peran orang tua ada yang menjadi simpatisan dari salah satu kelompok etnik yang bertikai, tokoh pendamai dan malahan ada yang menjadi pelaku konflik kekerasan. Ada satu keyakinan bahwa perbedaan merupakan suatu hal yang negatif. Konflik menurut mereka disebabkan karena perbedaan itu. Oleh karenanya perbedaan dianggap sesuatu yang jelek dan harus dihindari. Dalam konteks hubungan antar etnik dan agama, orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk menghindar dari relasi pribadi yang diketahuinya dari orang yang berbeda latar belakang suku, agama, dll. Kondisi ini kemudian berkembang menjadi keyakinan pada diri anak-anak dan remaja bahwa perbedaan itu tidak baik dan harus dijauhi.
Zaman dahulu orang tua mereka mempunyai adat yang dapat mengatur kehidupan bersama, sehingga semuanya dapat berjalan dengan lancar dan kelestarian kehidupan baik perorangan maupun kelompok terjamin. “Inti adat ini ialah sejumlah pegangan dan nilai yang diakui bersama dan ditegakkan bersama; kepemimpinan, peraturan pergaulan, pembagian peluang ekonomi, pelayanan kesejahteraan para warga dan pegangan religius yang terungkap dalam pelbagai seremoni adat “(Krist. Atok, 2002). Dalam hidup sehari-hari orang tua mereka mengajarkan para remaja untuk masuk kedalam kehidupan sosial serta diajarkan tentang pegangan nilainya secara bertahap ( melalui inisiasi, pendidikan dalam keluarga, dst ).
Masa awal tahun 1980-an, ketika revolusi industri mulai memasuki Indonesia, kehidupan masyarakat mulai dipenuhi oleh teknologi informasi seperti televisi, internet, koran-koran, majalah, dll. Dengan perubahan yang sedemikian cepat ini, sepertinya anak-anak dan remaja sudah kehilangan segala macam pegangan karena pengaruh/tawaran begitu banyak dan bermacam-macam itu. Apalagi dengan bertambahnya sarana komunikasi. Sangat terasa juga misalnya ketika berhadapan dengan ‘penyakit sosial‘ judi, minuman keras, hiburan malam/karaoke tempel, penodongan dan perampasan kendaraan bermotor. Dengan adanya aksi-aksi kekerasan yang dipertontonkan melalui sarana komunikasi dan informasi itu, anakanak dan remaja smenganggap bahwa satu-satunya cara untuk menyelesdaikan konflik atau masalah dengan aksi kekerasan. Jelas bahwa segala perubahan yang begitu cepat menimbulkan suatu ketegangan dalam kehidupan anak-anak dan remaja karena ternyata belum ditemukan suatu “ adat baru “ (pegangan nilai) yang diakui dan ditegakkan bersama.
Kehidupan manusia, selalu terjadi perubahan gaya kehidupan. Salah satu yang berkembang adalah gaya kehidupan instant. Orang cenderung untuk mempermudah kehidupannya atau mengupayakan kemudahan-kemudahan dalam kehidupannya. Tingkat kesulitan dalam berbagai dimensi dan strata kehidupan dicoba untuk diminimalkan. Pesatnya penggunaan teknologi informasi semakin memungkinkan hal itu terjadi. Bagi anak-anak dan remaja, keadaan ini seringkali menjebak (yang sering tidak disadari) untuk selalu berada dalam situasi atau pengalaman hidup yang biasa memanjakan dan mempermudah hidup. Mereka tidak berhadapan dengan realita kehidupan yang sesungguhnya. Mereka berhadapan dengan realita semu. Dari diri mereka sendiri, mereka tidak terbiasa untuk sulit (berhadapan dengan realita kehidupan yang sulit). Padahal senyatanya hidup tidak selalu mudah. Sebagian besar realita kehidupan menuntut perjuangan.
Keterjebakan anak-anak dan remaja dalam situasi yang seperti itu mengakibatkan mereka berada dalam situasi keterasingan dari realita kehidupan yang sebenarnya. Mereka terbiasa dengan yang mudah, bukan yang sulit. Di sisi lain, keterasingan itu melumpuhkan kemampuan mereka untuk ambil sikap terhadap perkembangan situasi kehidupan yang terjadi. Cukup besar kecenderungan untuk “ikut saja” dalam perguliran realita kehidupan.
Disamping itu, kenakalan anak-anak dan remaja juga akhir-akhir mulai mengkuatirkan. Keadaan ini dapat terlihat dari prilaku bolos diwaktu sekolah; tawuran antar pelajar; seks bebas; narkoba dan lainnya. Perilaku 'nakal' remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Factor internal berupa, Krisis identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. Berikutnya Kontrol diri yang lemah: Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku 'nakal'. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
Faktor Eksternal berupa: Keluarga : Perceraian orangtua; Tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja; Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak; Tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. Berikutnya Teman sebaya yang kurang baik dan Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.
Dari problematika yang ada pada remaja, diperlukan penyadaran pada remaja tentang makna hidup yang sesungguhnya. Keterlibatan semua lapisan masyarakat sangat diperlukan, agar generasi muda kita tidak terjerumus ke hal-hal yang negatif.
Disari dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar