Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang pada penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.
Sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan kawasan perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan fungsi dan peran seluruh stakeholders kawasan perbatasan, baik di pusat maupun daerah, secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini mengakibatkan penanganan kawasan perbatasan terkesan terabaikan dan bersifat parsial.
Berdasarkan pengamatan dilapangan beberapa waktu yang lalu, ada beberapa hal yang masih menjadi ganjalan untuk pengembangan wilayah perbatasan, diantaranya:
Paradigma ‘Kawasan Perbatasan Sebagai Halaman Belakang’
Paradigm pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau sebagai “halaman belakang” wilayah NKRI membawa inplikasi terhadap kondisi kawasan perbatasan saat ini yang terisolir dan tertinggal dari sisi social dan ekonomi. Munculnya paradigm ini, disebabkan oleh system politik ddimasa lampau yang sentralistik dan sangat menekankan stabilitas keamanan. Ddisamping itu secara historis, hubungan Indonesia dengan beberapa Negara tetangga pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri.
Terjadinya Kesenjangan Pembangunan Dengan Negara Tetangga
Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan yang miskin infrastruktur dan tidak memiliki akeseibilitas yang baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi ddi Negara tetangga. Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi utara misalnya, kehidupan social ekonomi masyarakat, pada umumnya berkiblat ke wilayah Negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya infrastruktur yang lebih baik atau pengaruh social ekonomi yang lebih kuat dari wilayah Negara tetangga. Secara jangka panjang, adanya kesenjangan pembangunan dengan Negara tetangga tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik.
Sarana Dan Prasarana Masih Minim.
Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan prasarana wilayah maupun fasilitas social ekonomi masih jauh dari memadai. Jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit berkembangannya kawasan perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan social maupun ekonomi dengan wilayah lain.
Kondisi prasarana dan saran komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televise serta saran telepon di kawasan perbatasan umumnya masih relative minim. Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi tentang Negara tetangga daripadda informasi dan wawasan tentang Indonesia. Ketersediaan sarana dasar social dan ekonomi seperti pusat kesehatan masayarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing dengan wilayah Negara tetangga.
Tingginya Angka Kemiskinan Dan Jumlah Keluarga Pra-Sejahtera.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi disetiap kawasan perbatasan baik laut maupun ddarat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta kesenjangan social ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan Negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasu berbagai factor, seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktifitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam dikawasan perbatasan.
Implikasinya lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di kawasan perbatasanmendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi illegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain melanggar dan potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban jg sangat merugikan Negara. Selain kegiatan ekonomi illegal, kegiatan illegal lainnya yang terkait dengan aspek politik, ekonomi dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kegiatan illegal ini terorganisir dengan baik sehingga perlu koordinasi dan kerjasama bilateral yang baik untuk menuntaskannya.
Terisolasinya Kawasan Perbatasan Akibat Rendahnya Aksesibilitas Menuju Kawasan Perbatasan
Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas baik darat, laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Diwiliyah Kalimantan dan papua, sulitnya aksesilibitas memunculkan kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi dengan masayarakat di wilayah Serawak dan PNG.
Minimnya aksesibilitas arid an keluar kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu factor yang turut mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas social ekonominya ke Negara tetangga yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat perbatasan.
Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia
Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana dibidang pendidikan dan kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar kawasan perbatasan masih renah. Masyarakat belum memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan sebagaimana mestinya akibat jauhnya jarak dari pemukiman dengan fasilitas yang ada. Optimalisasi potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, serta kesehatan masyarakat merupakan salah satu factor utama yang menghambat pengembangan ekonomi kawasan perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah Negara tetangga.
Adanya Aktivitas Pelintas Batas Tradisional
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak dan Melayu) dan Papua, menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas tradisional yang illegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat masyarakat dan kegiatan kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antar-negara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan perbatasan darat di beberapa daerah seperti papua dan Kalimantan serta Timor Leste. Kegiatan lintas batas ini telah berlangsung lama namun sampai saat ini belum dapat diatasi oleh kedua pihak (Negara).
Adanya Tanah Adat/Ulayat Masyarakat
Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat yang berada di dua wilayah Negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi lading penghidupan yang diolah sehari-hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua oleh garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan tersendiri serta dapat menjadi permasalahan di kemudian hari jika tidak ditangani secara serius.
Untuk itu, perlu ada upaya yang sinergi dalam pengembangan wilayah perbatasan, seperti melalui pendekatan kesejahteraan, keamanan dan pendekatan kelestarian alam. Diharapkan wilayah perbatasan menjadi beranda Negara yang membanggakan dan dapat menarik turis domestic dan dari luar.
1 komentar:
Mereka tinggal jauh dari Jakarta, pusat pemerintahan. Tapi, mereka rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia juga. Masih jauh dari makmur. Tapi, tega-teganya ada yang menilap anggaran pembangunan untuk wilayah yang bersinggungan dengan negara tetangga itu.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, menemukan bukti-bukti ketidakvalidan dalam pertanggungjawaban biaya nonpersonel atas jasa konsultan pada Ditjen PUM (Pemerintahan Umum). Jumlahnya mencapai Rp 3,45 miliar. Itu terdapat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Nomor 9a/HP/XVIII/05/2011 tertanggal 23 Mei 2011.
Pada 2010, Ditjen PUM Fasilitasi Pengembangan Wilayah Perbatasan Dalam Bidang Ekonomi, Budaya, Sosial dan Pembenahan Tanda Batas (kode 06.90.01.0792) yang pengadaan barangnya ditempatkan pada daerah perbatasan Indonesia. Anggaran yang disediakan untuk program itu Rp 124,474 miliar (belanja barang) dan Rp 166,65 miliar (belanja modal)
Pekerjaan itu digarap Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan. Sampai tutup buku, anggaran yang terserap untuk belanja barang sebesar Rp99,345 miliar atau 79,81 persen dan belanja modal sebesar Rp139,633 miliar atau 83,84 persen.
Namun, dari anggaran yang terserap itu, BPK melihat ada kejanggalan. Dalam laporan keuangan itu, ditemukan ada Rp3,45 miliar untuk tiga paket pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya. Dalam laporan keuangan yang diterima BPK, pelaksana proyek tidak bisa menunjukkan bahwa bukti pertanggungjawaban penggunaan anggaran untuk tiga jenis pekerjaan.
Posting Komentar