Sesungguhnya, persengketaan hak atas pemilikan, peruntukan, dan pengelolaan lingkungan alam dalam suatu kawasan, bukanlah suatu gejala baru. Gejala ini bahkan telah muncul beberapa abad yang lalu. Kawasan lingkungan alam yang kemudian disebut sebagai sumber daya alam telah menjadi factor penting sejak awal perkembangan kapitalisme. Dalam teori ekonoi kapitalis, sumberdaya alam dianggap sebagai salah satu dari tiga factor produksi utama, selain sumberdaya manusia dana sumberdaya dana. Secara teoritik, kapitaslisme –sebagai suatu ideology yang bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) melalui proses-proses penanaman modal (capital investment)- dalam prakteknya tak lain adalah mendorong dan mengharuskan adanya ekspansi ke luar dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja semurah mungkin. Proses inilah yang kemudian melahirkan sejarah penaklukan (imperialisme) dan penjajahan (kolonialisme) yang merupakan sejarah gelap peradaban dalam hal pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Perebutan dan pengusahaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja murah, pada hakekatnya tiada lain adalah dalam rangka menjamin keberlangsungan pemupukan modal Negara asalnya. Dengan kata lain, persoalan lingkungan alam pun telah muncul bersamaan dengan perkembangannya kapitalisme. Sejak saat itu pula, ‘lingkungan alam’ (nature) kemudian disebut-sebut sebagai ‘sumberdaya alam’ (nature resources) bagi industri. Oleh karena sumber daya alam itu terbatas, sementara kebutuhan pemupukan modal tidak ada batasnya dan bahkan perlu terus ditingkatkan, maka sumberdaya alam itu perlu pula dipertahankan dan dikelola secara ilmiah oleh pakar. Maka lahirlah wacana pengelolaan sumberdaya alam (natural resources management) –suatu pendekatan modern dan rasional yang menafikan cara-cara tradisional masyarakat tempatan yang, katanya, ‘tidak ilmiah’.
Ketika kolonialisme dan imperialism secara fisik berakhir, dunia memasuki zaman baru, zaman bangsa-bangsa atau Negara-negara merdeka. Namun jika ditelaah secara seksama, ternyata hakikat kolonialisme, yakni kapitalisme, masih tetap berlangsung. Jika zaman kolonialisme perebutan dan penguasaan sumberdaya alam didukung oleh Negara penjajah, pada zaman pasca-kolonialisme saat ini, perebutan dan penguasaan itu dilakukan dan didukung oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang seringkali bekerjasama dengan para kapitalis local, mempengaruhi kebijakan Negara yang memungkinkan bagi mereka untuk sepenuhnya menguasai (monopoli) sumberdaya alam setempat, menggusur dan meniadakan hak-hak rakyat asal/masyarakat adat (indigenous people) dan bahkan secara angkuh sekali menyebut mereka sebagai ‘perambah’ (penghalusan dari tuduhan ‘perusak’) lingkungan alam.
Maka, persoalan lingkungan dan sumberdaya alam telah menjadi persoalan: siapa sesungguhnya yang merambah dan merusak lingkungan serta untuk tujuan apa dan kepentingan siapa? Bahkan persoalannya merambah lebih jauh ke persoalan: siapa sesungguhnya yang paling berhak atas sumberdaya alam, siapa yang berhak memutuskan serta melalui proses yang bagaimana? Maka, persoalan lingkungan pun telah berubah menjadi persoalan politik dan hak aasasi manusia.
Perebutan dan pengusahaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja murah, pada hakekatnya tiada lain adalah dalam rangka menjamin keberlangsungan pemupukan modal Negara asalnya. Dengan kata lain, persoalan lingkungan alam pun telah muncul bersamaan dengan perkembangannya kapitalisme. Sejak saat itu pula, ‘lingkungan alam’ (nature) kemudian disebut-sebut sebagai ‘sumberdaya alam’ (nature resources) bagi industri. Oleh karena sumber daya alam itu terbatas, sementara kebutuhan pemupukan modal tidak ada batasnya dan bahkan perlu terus ditingkatkan, maka sumberdaya alam itu perlu pula dipertahankan dan dikelola secara ilmiah oleh pakar. Maka lahirlah wacana pengelolaan sumberdaya alam (natural resources management) –suatu pendekatan modern dan rasional yang menafikan cara-cara tradisional masyarakat tempatan yang, katanya, ‘tidak ilmiah’.
Ketika kolonialisme dan imperialism secara fisik berakhir, dunia memasuki zaman baru, zaman bangsa-bangsa atau Negara-negara merdeka. Namun jika ditelaah secara seksama, ternyata hakikat kolonialisme, yakni kapitalisme, masih tetap berlangsung. Jika zaman kolonialisme perebutan dan penguasaan sumberdaya alam didukung oleh Negara penjajah, pada zaman pasca-kolonialisme saat ini, perebutan dan penguasaan itu dilakukan dan didukung oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang seringkali bekerjasama dengan para kapitalis local, mempengaruhi kebijakan Negara yang memungkinkan bagi mereka untuk sepenuhnya menguasai (monopoli) sumberdaya alam setempat, menggusur dan meniadakan hak-hak rakyat asal/masyarakat adat (indigenous people) dan bahkan secara angkuh sekali menyebut mereka sebagai ‘perambah’ (penghalusan dari tuduhan ‘perusak’) lingkungan alam.
Maka, persoalan lingkungan dan sumberdaya alam telah menjadi persoalan: siapa sesungguhnya yang merambah dan merusak lingkungan serta untuk tujuan apa dan kepentingan siapa? Bahkan persoalannya merambah lebih jauh ke persoalan: siapa sesungguhnya yang paling berhak atas sumberdaya alam, siapa yang berhak memutuskan serta melalui proses yang bagaimana? Maka, persoalan lingkungan pun telah berubah menjadi persoalan politik dan hak aasasi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar