Otonomi daerah (Otda) merupakan salah satu ciri, karakteristik dari dan persyararatan yang harus dipenuhi oleh negara demokrasi baik berbentuk negara kesatuan maupun atau terutama negara federal. Untuk Indonesia, Otda merupakan konsekuensi logis dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini berarti bahwa kelangsungan hidup NKRI sangat ditentukan oleh adanya dan berlangsungnya Otda secara konsisten dan konsekuen yang diberikan baik kepada Pemerintah Daerah (Pemda) maupun kepada rakyat daerah.
Pelaksanaan Otda perlu seimbang dalam arti otonomi itu perlu diberikan kepada Pemda dan kepada rakyat didaerah (Rakda) agar dua kepentingan utama sekaligus masing-masing dalam bidang politik dan ekonomi, dalam mana Pemda dengan jelas dapat memiliki hak dan kewajiban untuk mengurus kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat mereka sesuai dengan urusan yang diserahkan kepada mereka, dalam bidang social dan budaya, dalam mana rakyat daerah masih mempunyai hak kebebasan untuk mengembangkan unsur-unsur pluralisme budaya mereka dapat terpenuhi secara memuaskan.
Keseimbangan dalam pemberian dan pelaksanaan Otda, kepada Pemda dan kepada Rakda, merupakan bukan saja konsekuensi dari prinsip dan hakekat pluralisme, yaitu keberagaman kelompok jenis, kelompok atau asal usul keturunan, golongan, dan sejenisnya, yang tumbuh dan berkembang disitu. Dari prinsip keberagaman ini, timbul dan berkembanglah prinsip menghargai keberagaman unsur-unsur social budaya seperti nilai-nilai budaya, tradisi, adat kebiasaan, dan lainnya yang berkaitan dengan keberagaman diatas, sebagai pembiakan dari prinsip demokrasi yang tidak saja mendorong terciptanya partisipasi dari dan pemberdayaan bagi semua golongan masyarakat. Akan tetapi pembiakan dari prinsip demokrasi ini juga terwujud dalam bentuk mengakui dan menghargai keberagaman budaya serta ide atau pendapat yang saling berbeda maupun mengakui dan menghargai prinsip otonomi daerah yang luas dan nyata yaitu keberadaan hak-hak asli daerah hak-hak rakyat di daerah.
Pengakuan dan penghargaan terhadap prinsip otonomi daerah dan keberagaman seperti ini dikenal dengan prinsip multikulturalisme. Prinsip seperti ini seharusnya mendapat tempat utama dalam setiap usaha sosialisasi dalam bentuk tidak saja formal—pendidikan disekolah-sekolah resmi dalam bentuk tingkat baik negeri maupun swasta, tetapi juga informal—pendidikan keluarga dirumah atau dalam lingkungan keluarga, serta non-formal—dan pusat-pusat pelatihan masyarakat didalam lingkungan kelompok masyarakat. Sosialisasi terhadap prinsip multikulturalisme ini diharapkan akan menumbuhkan dan meningkatkan, apa yang disebut didalam Modul Sosialisasi Wawasan Kebangsaan (Dirjen Kesatuan Bangsa, 2003) sebagai wawasan kebangsaan (Wasbang) dan wawasan nusantara (Wasnus) yang lebih dalam dan lebih luas dalam rangka meningkatkan baik kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa serta negara maupun saling hargai mengahargai, menerima perbedaan yang ada dan tidak memaksakan pendapat sendiri, serta pada akhirnya mencegah timbulnya konflik yang tidak berguna dan kekerasan.
Dengan tulisan ini diketahui hubungan fungsional dan timbal balik antara otonomi daerah dengan multikulturalisme. Tulisan ini juga diharapkan dapat mengungkapkan pelaksanaan nyata dari otonomi di daerah-daerah, khususnya daerah Kalbar, apa konsekuensi logisnya terhadap pelaksanaan prinsip multikulturalisme disitu dalam kaitan dengan kecenderungan adanya konflik dan kekerasan. Selain itu, tulisan ini juga mencoba mengemukakan keterkaitan antara kedua prinsip diatas- otonomi daerah dan multikulturalisme- dengan konsep putera daerah yang telah mulai disosialisasikan (Alqadri, 2000), yaitu konsep untuk merendam semangat ”kedaerahan” yang merupakan konsekuensi dari semangat ephoria reformasi. Terakhir, melalui tulisan ini, ingin diungkapkan pengaruh timbal balik antara konsep putera daerah tersebut diatas dengan pelaksanaan prinsip multikulturalisme.
Otonomi dan Otonomi Daerah.
Otonomi berasal dari dua kata: auto berarti sendiri, dan nomi berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian, menurut kata asalnya, berarti mengatur rumah tangga sendiri (Zakaria, 2001:9). Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata daerah, maka istilah ”mengatur rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan sendiri daerah. Untuk mendapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan sendiri di daerah secara riil, luas dan tidak hanya sekedar ”bujukan” dari Pemerintahan Pusat (Pempus) kepada Pemda dan Rakda, harus ada perubahan struktur dalam pemerintahan di negara yang bersangkutan, dalam hal ini Indonesia, dalam meligitimasi dan mendorong terselenggaranya rumah tangga pemerintahan sendiri itu dalam bentuk hukum atau perundang-undangan, kedasaran kritis dan kemauan baik dari Pempus maupun dari Pemda dan Rakda, agar keutuhan negara kesatuan ini terjamin dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan dapat tercipta.
Perubahan struktur ini antara lain meliputi perbaharuan hubungan antara Pempus dengan Pemda yang semulanya hubungan itu secara prinsip didasarkan pada asas dekosentrasi dan medebewind kemudian diubah menjadi asas desentralisasi. Selain itu, perubahan struktural berikutnya berkaitan dengan fakta bahwa hubungan antara pusat dengan daerah bukanlah identik dengan hubungan antara kawasan dominan dengan kawasan satelit sebagaimana dikritik oleh Dos Santos (1973;1976) dalam struktur ketergantungannya yang menggambarkan hubungan yang tidak adil dan tidak seimbang (unfair and unbalanced relationship) pada tingkat internasional—antara negara Kapitalis Barat dengan negara Dunia Ketiga –dan pada tingkat nasional—antara Pusat dengan Daerah—yang menciptakan ketergantungan struktural.
Hubungan Pusat dengan Daerah tidak juga dapat disamakan dengan hubungan antara metropolis dengan satelit yang dikritik oleh Andre Gunder Frank (1967;1973) dalam model ketergantungan metropolis-satelitnya (satellite-metropolis model of Dependency) yang juga menggandung hubungan tidak adil dan ketergantungan (unfair and dependent relationship) baik pada tingkat—antara negara industri maju (NIM) Barat dengan negara-negara Dunia Ketiga—maupun pada tingkat nasional—antara Dati I dengan Dati II. Perubahan struktural lainnya yang seharusnya terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi Pemda tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga adanya baik komitmen dari Pempus dan Pemda untuk mensejahterakan rakyat di daerah maupun pengakuan dan pengertian dari Pempus tentang keberagaman kelompok etnis dan kelompok social lainnya serta keberagaman budaya.
Asas dekosentrasi dan medebewind yang perlu dirubah dalam rangka melaksanakan Otda yang luas dan nyata, yaitu memperbaharui hubungan antara Pempus dengan Pemda, adalah sebagai berikut: Pada asas dekosentrasi (lihat Bagi 1 tentang Tiga Jenis Hubungan Antara Pusat dan Daerah), kewenangan hanya bersifat pelimpahan dari Pempus kepada Pemda. Perbedaan kewenangan pada pemerintahan adalah bahwa Pempus memiliki kewenangan yang luas yaitu kebijakan, perencanaan, pembiayaan dan pengawasan; sedangkan Pemerintah Propinsi, (Pemprop) hanya bertindak sebagai koordinator yaitu mengkoordinasikan empat kewenangan Pempus tersebut kepada daerah kabupaten/kota; dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (Pemkot) hanya berwenang menunjang dan melengkapi kewenangan Pempus dan Pemprop. Pada asas pembantuan (medebewind), pemberian kewenangan dari Pempus kepada daerah (Pemprop.dan Pemkab/Pemkot.) hanya bersifat pengikutsertaan dalam arti bahwa wewenang yang diberikan oleh hanya sekedar bertugas membantu pusat. Pempus memiliki kewenangan yang sangat luas yaitu kebijakan, perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengawasan; sedangakan Pemprop hanya bertugas sebagai koordinator yang mengkordinasikan lima kewenangan Pusat tersebut kepada Pemkab/Pemkot; dan kedua tingkat Pemerintahan yang disebut terakhir ini bertugas membantu Pempus melaksanakan kelima kewenangan tersebut.
Uraian diatas menunjukkan bahwa kewenangan Pempus pada dua asas di atas memang sangat luas. Kewenangan dan kebijakan mereka berasal dari atas ke bawah (Top-down policy). Pada kedua asas ini, semua kewenangan berasal dari Pempus Pemprop bertindak hanya sebagai kordinator, sedangkan Pemkab. Dan Pemkot. Hanya menunjang atau melengkapi dan membantu pelaksanaan. Pemda—Pemprop, dan Pemkab/Pemkot--dipandang sebelah mata, kalau boleh dikatakan, dianggap tidak ada.
Hubungan antara Pusat dan daerah seperti digariskan oleh dua asas di atas bukan saja merupakan hubungan tidak seimbang, timpang dan tidak adil, tetapi juga hubungan yang banyak merugikan daerah-daerah, bahkan, sebagai tercantum dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) No.X/MPR/1998, menimbulkan atau terjadinya banyak penyalahgunaan wewenang, penyelewengan; korupsi, kolusi dan neptisme (KKN); dan tidak berjalannya proses partisipasi, budaya politik dalam system politik nasional; kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup dibawah kontrol lembaga kepresidenan, ”termasuk kekuasaan Legislatif yang berada dibawah pengaruh kuat dan bayang-bayangi oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini lembaga kepresidenan”(tambahan dari penulis sendiri), menimbulkan krisis struktural dan sistemik yang tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan social secara proporsional dan optimal; selain itu pengambilan keputusan tidak sesuai dengan kondisi geografis dan demografis dan budaya setempat yang menimbulkan hambatan bagi terciptanya keadilan, pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas nyata; pengembangan kualitas SDM, sikap mental dan kaderisasi pemimpin tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan mengalirnya SDM yang berkualitas dari daerah-daerah ke Pusat dan kurang memberi kesempatan bagi SDM di daerah-daerah untuk lebih berkembang;..................
Keadaan yang kronis seperti ini mendorong penataan kembali hubungan antara Pusat dengan Daerah dengan melakukan perubahan struktural melalui dan memberlakukan asas desentralisasi. Pada asas Desentralisasi (lihat juga gambar tentang tiga jenis hubungan Pusat dan Daerah), sifat pemberian kewenangan adalah Pempus melimpahkan atau menyerahkan wewenang kepada Daerah. Wewenang yang masih ada pada Pempus adalah hanya pengawasan, pengendalia dan pertanggungjawabab umum. Wewenang yang dimiliki oleh Pemprop. Hanya terletak dalam segi koordinasi dan pengawasan, sedangkan wewenang Pemkab dan Pemkot meliputi pembuatan kebijakan, perencanaan pelaksanaan, pembiayaan, kecuali gaji pegawai. Asas ini mendorong timbulnya aktivitas kebijakan dan kewenangan dari bawah ke atas (Bottom-up policy) yang melahirkan hubungan Pusat-daerah yang relatif seimbang, adil.
Pelaksanaan Otda perlu seimbang dalam arti otonomi itu perlu diberikan kepada Pemda dan kepada rakyat didaerah (Rakda) agar dua kepentingan utama sekaligus masing-masing dalam bidang politik dan ekonomi, dalam mana Pemda dengan jelas dapat memiliki hak dan kewajiban untuk mengurus kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat mereka sesuai dengan urusan yang diserahkan kepada mereka, dalam bidang social dan budaya, dalam mana rakyat daerah masih mempunyai hak kebebasan untuk mengembangkan unsur-unsur pluralisme budaya mereka dapat terpenuhi secara memuaskan.
Keseimbangan dalam pemberian dan pelaksanaan Otda, kepada Pemda dan kepada Rakda, merupakan bukan saja konsekuensi dari prinsip dan hakekat pluralisme, yaitu keberagaman kelompok jenis, kelompok atau asal usul keturunan, golongan, dan sejenisnya, yang tumbuh dan berkembang disitu. Dari prinsip keberagaman ini, timbul dan berkembanglah prinsip menghargai keberagaman unsur-unsur social budaya seperti nilai-nilai budaya, tradisi, adat kebiasaan, dan lainnya yang berkaitan dengan keberagaman diatas, sebagai pembiakan dari prinsip demokrasi yang tidak saja mendorong terciptanya partisipasi dari dan pemberdayaan bagi semua golongan masyarakat. Akan tetapi pembiakan dari prinsip demokrasi ini juga terwujud dalam bentuk mengakui dan menghargai keberagaman budaya serta ide atau pendapat yang saling berbeda maupun mengakui dan menghargai prinsip otonomi daerah yang luas dan nyata yaitu keberadaan hak-hak asli daerah hak-hak rakyat di daerah.
Pengakuan dan penghargaan terhadap prinsip otonomi daerah dan keberagaman seperti ini dikenal dengan prinsip multikulturalisme. Prinsip seperti ini seharusnya mendapat tempat utama dalam setiap usaha sosialisasi dalam bentuk tidak saja formal—pendidikan disekolah-sekolah resmi dalam bentuk tingkat baik negeri maupun swasta, tetapi juga informal—pendidikan keluarga dirumah atau dalam lingkungan keluarga, serta non-formal—dan pusat-pusat pelatihan masyarakat didalam lingkungan kelompok masyarakat. Sosialisasi terhadap prinsip multikulturalisme ini diharapkan akan menumbuhkan dan meningkatkan, apa yang disebut didalam Modul Sosialisasi Wawasan Kebangsaan (Dirjen Kesatuan Bangsa, 2003) sebagai wawasan kebangsaan (Wasbang) dan wawasan nusantara (Wasnus) yang lebih dalam dan lebih luas dalam rangka meningkatkan baik kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa serta negara maupun saling hargai mengahargai, menerima perbedaan yang ada dan tidak memaksakan pendapat sendiri, serta pada akhirnya mencegah timbulnya konflik yang tidak berguna dan kekerasan.
Dengan tulisan ini diketahui hubungan fungsional dan timbal balik antara otonomi daerah dengan multikulturalisme. Tulisan ini juga diharapkan dapat mengungkapkan pelaksanaan nyata dari otonomi di daerah-daerah, khususnya daerah Kalbar, apa konsekuensi logisnya terhadap pelaksanaan prinsip multikulturalisme disitu dalam kaitan dengan kecenderungan adanya konflik dan kekerasan. Selain itu, tulisan ini juga mencoba mengemukakan keterkaitan antara kedua prinsip diatas- otonomi daerah dan multikulturalisme- dengan konsep putera daerah yang telah mulai disosialisasikan (Alqadri, 2000), yaitu konsep untuk merendam semangat ”kedaerahan” yang merupakan konsekuensi dari semangat ephoria reformasi. Terakhir, melalui tulisan ini, ingin diungkapkan pengaruh timbal balik antara konsep putera daerah tersebut diatas dengan pelaksanaan prinsip multikulturalisme.
Otonomi dan Otonomi Daerah.
Otonomi berasal dari dua kata: auto berarti sendiri, dan nomi berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian, menurut kata asalnya, berarti mengatur rumah tangga sendiri (Zakaria, 2001:9). Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata daerah, maka istilah ”mengatur rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan sendiri daerah. Untuk mendapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan sendiri di daerah secara riil, luas dan tidak hanya sekedar ”bujukan” dari Pemerintahan Pusat (Pempus) kepada Pemda dan Rakda, harus ada perubahan struktur dalam pemerintahan di negara yang bersangkutan, dalam hal ini Indonesia, dalam meligitimasi dan mendorong terselenggaranya rumah tangga pemerintahan sendiri itu dalam bentuk hukum atau perundang-undangan, kedasaran kritis dan kemauan baik dari Pempus maupun dari Pemda dan Rakda, agar keutuhan negara kesatuan ini terjamin dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan dapat tercipta.
Perubahan struktur ini antara lain meliputi perbaharuan hubungan antara Pempus dengan Pemda yang semulanya hubungan itu secara prinsip didasarkan pada asas dekosentrasi dan medebewind kemudian diubah menjadi asas desentralisasi. Selain itu, perubahan struktural berikutnya berkaitan dengan fakta bahwa hubungan antara pusat dengan daerah bukanlah identik dengan hubungan antara kawasan dominan dengan kawasan satelit sebagaimana dikritik oleh Dos Santos (1973;1976) dalam struktur ketergantungannya yang menggambarkan hubungan yang tidak adil dan tidak seimbang (unfair and unbalanced relationship) pada tingkat internasional—antara negara Kapitalis Barat dengan negara Dunia Ketiga –dan pada tingkat nasional—antara Pusat dengan Daerah—yang menciptakan ketergantungan struktural.
Hubungan Pusat dengan Daerah tidak juga dapat disamakan dengan hubungan antara metropolis dengan satelit yang dikritik oleh Andre Gunder Frank (1967;1973) dalam model ketergantungan metropolis-satelitnya (satellite-metropolis model of Dependency) yang juga menggandung hubungan tidak adil dan ketergantungan (unfair and dependent relationship) baik pada tingkat—antara negara industri maju (NIM) Barat dengan negara-negara Dunia Ketiga—maupun pada tingkat nasional—antara Dati I dengan Dati II. Perubahan struktural lainnya yang seharusnya terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi Pemda tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga adanya baik komitmen dari Pempus dan Pemda untuk mensejahterakan rakyat di daerah maupun pengakuan dan pengertian dari Pempus tentang keberagaman kelompok etnis dan kelompok social lainnya serta keberagaman budaya.
Asas dekosentrasi dan medebewind yang perlu dirubah dalam rangka melaksanakan Otda yang luas dan nyata, yaitu memperbaharui hubungan antara Pempus dengan Pemda, adalah sebagai berikut: Pada asas dekosentrasi (lihat Bagi 1 tentang Tiga Jenis Hubungan Antara Pusat dan Daerah), kewenangan hanya bersifat pelimpahan dari Pempus kepada Pemda. Perbedaan kewenangan pada pemerintahan adalah bahwa Pempus memiliki kewenangan yang luas yaitu kebijakan, perencanaan, pembiayaan dan pengawasan; sedangkan Pemerintah Propinsi, (Pemprop) hanya bertindak sebagai koordinator yaitu mengkoordinasikan empat kewenangan Pempus tersebut kepada daerah kabupaten/kota; dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (Pemkot) hanya berwenang menunjang dan melengkapi kewenangan Pempus dan Pemprop. Pada asas pembantuan (medebewind), pemberian kewenangan dari Pempus kepada daerah (Pemprop.dan Pemkab/Pemkot.) hanya bersifat pengikutsertaan dalam arti bahwa wewenang yang diberikan oleh hanya sekedar bertugas membantu pusat. Pempus memiliki kewenangan yang sangat luas yaitu kebijakan, perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengawasan; sedangakan Pemprop hanya bertugas sebagai koordinator yang mengkordinasikan lima kewenangan Pusat tersebut kepada Pemkab/Pemkot; dan kedua tingkat Pemerintahan yang disebut terakhir ini bertugas membantu Pempus melaksanakan kelima kewenangan tersebut.
Uraian diatas menunjukkan bahwa kewenangan Pempus pada dua asas di atas memang sangat luas. Kewenangan dan kebijakan mereka berasal dari atas ke bawah (Top-down policy). Pada kedua asas ini, semua kewenangan berasal dari Pempus Pemprop bertindak hanya sebagai kordinator, sedangkan Pemkab. Dan Pemkot. Hanya menunjang atau melengkapi dan membantu pelaksanaan. Pemda—Pemprop, dan Pemkab/Pemkot--dipandang sebelah mata, kalau boleh dikatakan, dianggap tidak ada.
Hubungan antara Pusat dan daerah seperti digariskan oleh dua asas di atas bukan saja merupakan hubungan tidak seimbang, timpang dan tidak adil, tetapi juga hubungan yang banyak merugikan daerah-daerah, bahkan, sebagai tercantum dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) No.X/MPR/1998, menimbulkan atau terjadinya banyak penyalahgunaan wewenang, penyelewengan; korupsi, kolusi dan neptisme (KKN); dan tidak berjalannya proses partisipasi, budaya politik dalam system politik nasional; kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup dibawah kontrol lembaga kepresidenan, ”termasuk kekuasaan Legislatif yang berada dibawah pengaruh kuat dan bayang-bayangi oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini lembaga kepresidenan”(tambahan dari penulis sendiri), menimbulkan krisis struktural dan sistemik yang tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan social secara proporsional dan optimal; selain itu pengambilan keputusan tidak sesuai dengan kondisi geografis dan demografis dan budaya setempat yang menimbulkan hambatan bagi terciptanya keadilan, pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas nyata; pengembangan kualitas SDM, sikap mental dan kaderisasi pemimpin tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan mengalirnya SDM yang berkualitas dari daerah-daerah ke Pusat dan kurang memberi kesempatan bagi SDM di daerah-daerah untuk lebih berkembang;..................
Keadaan yang kronis seperti ini mendorong penataan kembali hubungan antara Pusat dengan Daerah dengan melakukan perubahan struktural melalui dan memberlakukan asas desentralisasi. Pada asas Desentralisasi (lihat juga gambar tentang tiga jenis hubungan Pusat dan Daerah), sifat pemberian kewenangan adalah Pempus melimpahkan atau menyerahkan wewenang kepada Daerah. Wewenang yang masih ada pada Pempus adalah hanya pengawasan, pengendalia dan pertanggungjawabab umum. Wewenang yang dimiliki oleh Pemprop. Hanya terletak dalam segi koordinasi dan pengawasan, sedangkan wewenang Pemkab dan Pemkot meliputi pembuatan kebijakan, perencanaan pelaksanaan, pembiayaan, kecuali gaji pegawai. Asas ini mendorong timbulnya aktivitas kebijakan dan kewenangan dari bawah ke atas (Bottom-up policy) yang melahirkan hubungan Pusat-daerah yang relatif seimbang, adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar