Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Jender diartikannya sebagai “intepretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan”. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.
Oleh Peter R. Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994: 4-6), jender dapat didefenisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada perempuan dan lelaki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen dan universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan perempuan yang pantas. Akibatnya tibul asosiasi dunia publik bersifat maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah tangga bersifat feminim adalah milik perempuan.
BEDA SEKS DAN GENDER
Jender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi budaya, sementara itu seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Kamus bahasa Indonesia mengartikan seks sebagai jenis kelamin. Istilah seks lebih banyak berkosentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Jender lebih banyak terkosentrasi pada aspek sosial, budaya psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya (lindsey :1990: 2).
MENGAPA GENDER PERLU DIPAHAMI ?
Gender memainkan peran sangat penting dalam perjalanan hidup seseorang. Menjadi laki-laki dan perempuan karena adanya perbedaan biologis (jenis kelamin) sejak dilahirkan.
Kaum perempuan melakukan seperangkat peran perempuan dan anak laki-laki pun menyadari adanya peran laki-laki yang mesti dilakukan batasan-batasan. Anak-anak mulai merasakan batasan-batasan sebagai perempuan dan laki-laki, dengan sanksi dari orang tua dan lingkungannya jika keluar dari peran tersebut. Perlakuan ini harus berlanjut hingga dewasa, turun-temurun, terstruktur dan rapi.
BEDA ALAMI PRIA DAN WANITA
Perbedaan alami pria dan wanita mulai diungkapkan secara ilmia oleh Darwin, yang mengatakan bahwa pria berbeda dengan wanita dalam hal ukuran, kekuatan tubuh, juga dalam pemikiran. Carl Degler yang menyitir pendapat Wiliam Thomas dalam artikelnya yang dipublikasikan tahun 1897, mengatakan otak wanita lebih kecil daripada otak pria. Selanjutnya oleh seorang ilmuan wanita M.A Hardaker (1882) mengatakan bahwa wanita mempunyai kemampuan berpikir dan kretivitas yang lebih rendah dari pria, tetapi wanita mempunyai intuisi dan persepsi yang lebih unggul. Juga Edward Thordike !(!$) mengatakan walaupun anak laki-laki dan perempuan diberikan lingkungan yang sama, akan tetap menghasilkan perbedaan kemampuan mental dan aktivitas antara anak laki-laki dan perempuan.
FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUKAN GENDER
BUDAYA.
Faktor budaya (nature) menyebabkan adanya division of labour antara pria dan wanita, bukan karena perbedaan biologis. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis dan menjadi terintitusionalisasi. Institusi sebagai wadah sosialisasi, dengan kebiasaan norma yang berlaku diwariskan secara turun-temurun. Division of labour berupa tugas utama wanita sepanjang hidupnya adalah melahirkan, menyusui dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pengasuhan anak, dan pekerjaan-pekerjaan yang dapat diselesaikan di sekitar rumah. Wanita berperan sebagai figur ekspresif, dan pria sebagai figur instrumentalyang bertugas melindungi keluarganya dari bahaya luar dan mencari nafkah ke luar rumah (Bem dalam Megawangi, 1999: 105)
Dengan adanya teknologi modern, seperti alat-alat kontrasepsi, susu botol pengganti ASI, maka division of labour dapat berubah. Para wanita dapat mengatur jumlah kelahiran anak, bahkan untuk tidak punya anak sama sekali dan tidak perlu menyusui lagi, sehingga waktunya tidak habis untuk pengasuhan anak. semua itu akan menghilangkan kendala biologi yang menghambat untuk berkiprah di sektor publik yang didominasi pria. Oleh sebab itu perbedaan jender karena adanya perbedaan biologis wanita menjadi tidak relevan. Berhubung peran jender dapat diubah, maka perbedaan peran jender yang selama ini berlansung, bukan disebabkan oleh adanya perbedaan nature antara pria dan wanita, tetapi disebabkan adanya budaya (nature) atau tradisi. Sesuatu yang nature tidak dapat dirubah, tetapi peran jender dapat dirubah dengan teknologi. Dengan demikian mereka yang berorientasi kultur percaya bahwa peran jender karena konstruksi sosial budaya.
KESENJANGAN GENDER
Khusus untuk kondisi sosial budaya bangsa Indonesia yang mengalami sejarah panjang di masa penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang, tidak bisa dilupakan bahwa peraturan-peraturan penjajah tadi sangat mwwarnai kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Diantara kondisi sosial budaya yang diwarnai oleh kebengisan penjajah tadi masih ada adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat, serta mengakar sampai generasi sekarang.
Kesenjangan jender yang terjadi saat ini tidak terlepas dari warisan budaya yang diciptakan oleh penjajah Belanda. Belanda bukan saja mewariskan budaya bias jender tetapi juga mewariskan budaya feodalisme, yang membedakan harkat derajat di antara sesama manusia, diciptakan oleh Belanda untuk menciptakan kecemburuan dan perpecaha.
TEORI-TEORI PENYEBAB KESENJANGAN GENDER
Teori Alamiah.
Memandang perbedaan jender sebagai kodrat alam (alamiah) yang tidak perlu dipermasalahkan. Perbedaan jender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan jender tidak berlaku universal dan dapat dipertukarkan. Kedua teori ini memiliki argumen dan pengaruh yang sama-sama kuat.
Teori Kebudayaan.
Teori ini disebut teori kebudayaan karena memandang jender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Seperti yang dikemukakan Kamla Bhasin, (2002), ”berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis, identitas jender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial-yang berarti secara historis dan budaya”. Boleh jadi teori kebudayaan merupakan ”bantahan” terhadap teori kodrat alam.
Teori Psikoanalisis
Teori Freud memandang perbedaan jenis kelamin sebagai awal dari perbedaan perkembangan psikologis itulah yang menentukan perbedaan perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya perbedaan perkembangan psikologis itulah yang menentukan perbedaan perkembangan perilaku masing-masing.
Perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan dalam perkembangannya menghasilkan dinamika kepribadian yang berbeda pula. Sifat-sifat feminim dan maskulin menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang secara psikologis memang berbeda
PERKEMBANGAN KESENJANGAN GENDER SAAT INI
Proses budaya yang sudah berjalan sangat lama, kemudian diwariskan secara turun-temurun, dan terbentuk dalam norma sosial atau tata krama kehidupan dalam masyarakat, sehingga menjadi keharusan untuk ditaati oleh anggota masyarakatnya. Tidak ada orang yang mengetahui secara pasti, kapan jender tercipta atau dibentuk oleh budaya masyarakat, tapi akbatnya dapat dilihat sampai saat ini. Perempuan pada berbagai peran sosial jauh ketinggalan oleh laki-laki, sepertinya perempuan pasif, cenderung menerima dan kurang percaya diri. Sebenarnya peran sosial yang jauh ketinggalan dan cenderung pasif tersebut bukan terjadi secara alamiah, tetapi lebih disebabkan karena adanya konstruksi budaya.
kodrati. Sifat-sifat feminim dan maskulin bisa dipertukarkan atau dihilangkan. Misalnya perempuan tidak feminim, juga tidak maskulin, demikian juga laki-laki. Secara fisik, kodrati laki-laki dan perempuan memang terdapat perbedaan, dimana perempuan memiliki organ tubuh yang berfungsi untuk keperluan reproduksi, sedang laki-laki tidak dilengkapi organ tubuh untuk keperluan untuk keperluan reproduksi tersebut. Tetapi yang membuat sifat-sifat feminim dan maskulin lebih disebabkan karena faktor budaya dari pada faktor fisik yang memang terdapat perbedaan.
Proses pembudayaan sifat-sifat feminim dan maskulin, dapat tersosialisasi melalui perbedaan bentuk pakaian, model potongan rambut, perlakuan, sebutan-sebutan atau bahasa yang berbeda untuk anak laki-laki dan perempuan. Tata krama dalam kehidupan bermasyarakat seperti berekspresi, bertutur kata, dan berperilaku untuk laki-laki dan perempuan sejak kecil dibedakan. Pembudayaan ini diajarkan dan diarahkan oleh budaya orang tua yang dikemas dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan perebedaan-perbedaan tersebut, anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya, lengkap dengan sifat-sifatnya. Anak perempuan mengidentifikasikan dirinya kepada ibunya sebagai figur idolanya, sperti ingin cantik seperti ibu, ingin lemah lembut dan penyayang seperti ibu. Sedangkan anak laki-laki mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya dengan segala sifat-sifatnya, seperti ingin gagah seperti jenderal.
EFEK NEGATIF PEMBEDAAN GENDER
Efek negatif yang tidak secara lansung ditularkan oleh sebab pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin di antaranya adalah: (1) diskriminasi perempuan, (2) ekploitasi kaum perempua, (3) marginalisasi perempuan, (4) Sub-ordinasi permpuan, (5) stereotipe atau pelabelan negatif terhadap perempuan, (6) kekerasan terhadap perempuan, (7) bahan kerja lebih berat dan panjang. Berbagai bentuk ketidakadilan gender tersebut, biasanya tidak beridiri sendiri tetapi saling tekait dan saling mempengaruhi, dan sudah mengkristal dalam budaya masyarkat, sehingga sangat sulit untuk diluruskan.
PENDIDIKAN GENDER DISEKOLAH
Pendidikan sekolah merupakan sebuah isu signifikan bagi wanita sekarang, karena mereka makin banyak terlibat dalam sejumlah tingkatan dan anekaragam lingkungan, mulai dari pendidikan pra sekolah dan taman kanak-kanak, hingga ke sekolah menengah, dan barangkali perguruan tinggi, dengan bergerak melalui struktur yang sama seperti murid-murid laki-laki. Dalam setiap situasi pendidikan sekolah yersebut murid-murid wanita dan pria terbuka pada buku-buku teks, bahan-bahan dan sikap guru secara halus dapat mempengaruhi pemikiran mereka tentang diri mereka sendiri serta masyarakat mereka.
Seluruh gangguan verbal dan psikologis terhadap wanita dan golongan minoritas juga jelas terjadi di kampus, mulai dari humor seksis atau rasisi sebagai bumbu pengajaran di kelas, hingga pelecehan seksual secara lisan, penghinaan rasial, gangguan yang bersifat rasis, dan / atau penyerahan seksual. ”pelecehan seksual” (sexual harassement), menurut Russel, merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang memungkinkan laki-laki mengejar kepentingan ekonomi mereka sendiri (Russel, 1984). Penetapan jenis kelamin di sekolah memberikan suatu dasar kekuasaan bagi laki-laki untuk melecehkan wanita serta melindungi sumber-sumber milik mereka. Pelecehan seksual dalam sistem pendidikan, karena itu, (1) sekumpulan perilaku yang ditunjukan pada individu wanita di ruangan kelas, (2) kondisi yang menyumbang pada lingkungan pendidikan yang mengancam, dan (3) dimensi kekuasaan yaqng erat berkaitan dengan status minoritas wanita di sekolah.
KESETARAAN GENDER
Adalah perwujudan jaminan dalam tata hukum ke pola hidup dan gaya hidup sehari-hari, yang ditandai oleh sikap wanita dan pria dalam hubungan mereka satu sama lain, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang saling peduli, saling menghargai, saling membantu, saling mendukung, saling memberdayakan dan saling memberi kesempatan untuk tumbuh kembang dan mengembangkan diri secara optimal dan teus menerus, maupun untuk menentukan pilihan bidang pengabdian pada masyarakatnya dan pembangunan bangsanya serta masyarakat dunia, secara bebas dab bertanggungjawab.
Kesetaraan wanita dan pria meliputi kesetaraan kedudukan dalam tata hukum atau perundang-undangan, maupun dalam pola tau gaya hidup sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat
Kesetaraan wanita dan pria dalam pengambilan keputusan dalam keluarga mempunyai arti strategis dan dampak ganda. Strategis karena kehidupan dalam keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pasangan suami istri maupun bagi generasi penerus, anak laki-laki dan perempuan, untuk mewujudkan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan perikehidupan pembangunan nasional Indonesia
KONSEP KESETARAAN
Adalah kondisi dimana pria dan wanita memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling bantu-membantu dan saling mengisi di semua bidang kehidupan. Perwujudan kemitrasejajaran yang harmonis merupakan tanggung jawab bersama pria dan wanita. ”istilah pemberdayaan dalam bahasa Inggris empowerment ada pengertian Power, kekuasaan atau kekuatan. Maka pemberdayaan sumber intelektual dan idiologi. Aset material berupa fisik, manusiawi atau finansial, seperti air, tanah, tubuh manusia, pekerjaan, uang. Sumber intelektual berupa pengetahuan, informasi dan gagasan atau ide. Penguasaan atau idiologi berarti kemampuan untuk mengembangkan, menyebarkan, mempertahankan perangkat tertentu dari kepercayaan, sikap, nilai dan perilaku, sehingga dapat menentukan bagaimana persepsi manusia, dan berfungsinya dalam lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Dengan demikian, kekuasaan berada pada mereka yang menguasai atau dapat mempengaruhi distribusi sumber-sumber material, pengetahuan dan idiologi yang mengatur hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan publik maupun pribadi” (Batliwala dalam Sen, 1994 : 29)
LANDASAN HUKUM KESETARAAN GENDER
Konvensi Wanita Tahun 1981
Konvensi Wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, sebagian isinya disajikan di bawah ini:
Pasal 1, ”..... istilah diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan dasar persamaan antara pria dan wanita.
Pasal 2, mewajibkan negara untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan atau dengan cara-cara lainnya untuk melaksanakan prinsip persamaan antara wanita dan pria.
Pasal 3, ”Negara-negara peserta mengambil langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria.
Pasal 4, Pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam konvensi, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, dianggap sebagai diskriminasi.
Pasal 5, ”Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan :
a). untuk mengubah pola perilaku sosial budaya pria dan wanita dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka, atau kebiasaan yang berdasarkan peran stereotipe bagi pria dan wanita.
b). untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga meliputi pengertian mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam membesarkan anak-anak mereka… (Dikutip dari buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita Tapi Omas Ihromi, 2000).
Undang-umdang Dasar (UUD) 1945
UUD 1945, BAB X tentang warga negara, pasal 27 ayat (1) menentukan, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan pria dan wanita di depan hukum telah diakui. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tidak membedakan jenis kelamin di muka hukum.
Ketetapan-ketetapan MPR RI
TAP MPR RI, sejak tahun 1978-1999, mencantumkan secara tegas memberikan hak dan kewajiban yang sama antara pria dengan wanita dalam pembangunan di segala bidang, antara lain :
1). Ketetapan MPR RI No: IV/MPR/1978 (1983: 275), tentang Garis-Garis Besar Haluan negara, BAB IV Pola Umum Pelita ke tiga, huruf D. arah dan kebijaksanaan pembangunan umum, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, Sosial Budaya, angka 11 tentang peranan wanita dalam membangun dan pembinaan bangsa.
2). Ketetapan MPR RI No: II/MPR/1983 (1983: 110-111)tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, BAB IV : Pola Umum Pelita keempat, huruf D, tentang arah dan Kebijaksanaan Pembangunan Umum, Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum, Penerbangan dan media Massa, Hubungan Luar Negeri, pada angka 10 tentang peranan wanita dalam pembangunan bangsa.
Tap MPR No. IV/1999 tentang GBHN 1999
Tap MPR No. IV/1999 mendukung bahwa untuk meningkatkan peran dan kedudukan perempuan perlu dikembangkan kebijakan nasional yang diemban oleh suatu lembaga yang mamapu mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender (KKG) serta mampu meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan.
Inpres No. 5 tahun 1995
Apa yang dinyatakan presiden tersebut “pada hakekatnya wanita sebagai insan pembangunan mempunyai peran sejajar dengan pria” kemudian dikokohkan dengan Inpres No. 5 Tahun 1995. dengan demikian, maka semakin kokohnya upaya untuk meningkatkan peran yang setara dengan laki-laki, sekaligus bias jender yang dikenakan padanya, khususnya dalam kehidupan publik, dapat dieleminasi.
Propenas Tahun 2000
Propenas yang responsip jender juga terlihat dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan nasional dijelaskan bahwa program peningkatan kualitas hidup perempuan memiliki sasaran yaitu meningkatnya kualitas dan peranan perempuan di berbagai bidang. Dalam bidang pendidikan sasaran program akan dicapai melalui berbagai kegiatan pokok yang tercantum dalam program pendidikan pra-sekolah , pendidikan menengah, program pendidikan tinggi, program pembinaan pendidikan luar sekolah.
Oleh Peter R. Beckman dan Francine D’Amico, Eds. (1994: 4-6), jender dapat didefenisikan sebagai karakteristik sosial yang diberikan kepada perempuan dan lelaki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen dan universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan perempuan yang pantas. Akibatnya tibul asosiasi dunia publik bersifat maskulin pantas untuk kaum lelaki dan dunia privat, domestik dan rumah tangga bersifat feminim adalah milik perempuan.
BEDA SEKS DAN GENDER
Jender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi budaya, sementara itu seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Kamus bahasa Indonesia mengartikan seks sebagai jenis kelamin. Istilah seks lebih banyak berkosentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Jender lebih banyak terkosentrasi pada aspek sosial, budaya psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya (lindsey :1990: 2).
MENGAPA GENDER PERLU DIPAHAMI ?
Gender memainkan peran sangat penting dalam perjalanan hidup seseorang. Menjadi laki-laki dan perempuan karena adanya perbedaan biologis (jenis kelamin) sejak dilahirkan.
Kaum perempuan melakukan seperangkat peran perempuan dan anak laki-laki pun menyadari adanya peran laki-laki yang mesti dilakukan batasan-batasan. Anak-anak mulai merasakan batasan-batasan sebagai perempuan dan laki-laki, dengan sanksi dari orang tua dan lingkungannya jika keluar dari peran tersebut. Perlakuan ini harus berlanjut hingga dewasa, turun-temurun, terstruktur dan rapi.
BEDA ALAMI PRIA DAN WANITA
Perbedaan alami pria dan wanita mulai diungkapkan secara ilmia oleh Darwin, yang mengatakan bahwa pria berbeda dengan wanita dalam hal ukuran, kekuatan tubuh, juga dalam pemikiran. Carl Degler yang menyitir pendapat Wiliam Thomas dalam artikelnya yang dipublikasikan tahun 1897, mengatakan otak wanita lebih kecil daripada otak pria. Selanjutnya oleh seorang ilmuan wanita M.A Hardaker (1882) mengatakan bahwa wanita mempunyai kemampuan berpikir dan kretivitas yang lebih rendah dari pria, tetapi wanita mempunyai intuisi dan persepsi yang lebih unggul. Juga Edward Thordike !(!$) mengatakan walaupun anak laki-laki dan perempuan diberikan lingkungan yang sama, akan tetap menghasilkan perbedaan kemampuan mental dan aktivitas antara anak laki-laki dan perempuan.
FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUKAN GENDER
BUDAYA.
Faktor budaya (nature) menyebabkan adanya division of labour antara pria dan wanita, bukan karena perbedaan biologis. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis dan menjadi terintitusionalisasi. Institusi sebagai wadah sosialisasi, dengan kebiasaan norma yang berlaku diwariskan secara turun-temurun. Division of labour berupa tugas utama wanita sepanjang hidupnya adalah melahirkan, menyusui dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pengasuhan anak, dan pekerjaan-pekerjaan yang dapat diselesaikan di sekitar rumah. Wanita berperan sebagai figur ekspresif, dan pria sebagai figur instrumentalyang bertugas melindungi keluarganya dari bahaya luar dan mencari nafkah ke luar rumah (Bem dalam Megawangi, 1999: 105)
Dengan adanya teknologi modern, seperti alat-alat kontrasepsi, susu botol pengganti ASI, maka division of labour dapat berubah. Para wanita dapat mengatur jumlah kelahiran anak, bahkan untuk tidak punya anak sama sekali dan tidak perlu menyusui lagi, sehingga waktunya tidak habis untuk pengasuhan anak. semua itu akan menghilangkan kendala biologi yang menghambat untuk berkiprah di sektor publik yang didominasi pria. Oleh sebab itu perbedaan jender karena adanya perbedaan biologis wanita menjadi tidak relevan. Berhubung peran jender dapat diubah, maka perbedaan peran jender yang selama ini berlansung, bukan disebabkan oleh adanya perbedaan nature antara pria dan wanita, tetapi disebabkan adanya budaya (nature) atau tradisi. Sesuatu yang nature tidak dapat dirubah, tetapi peran jender dapat dirubah dengan teknologi. Dengan demikian mereka yang berorientasi kultur percaya bahwa peran jender karena konstruksi sosial budaya.
KESENJANGAN GENDER
Khusus untuk kondisi sosial budaya bangsa Indonesia yang mengalami sejarah panjang di masa penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang, tidak bisa dilupakan bahwa peraturan-peraturan penjajah tadi sangat mwwarnai kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Diantara kondisi sosial budaya yang diwarnai oleh kebengisan penjajah tadi masih ada adat-istiadat dalam kehidupan masyarakat, serta mengakar sampai generasi sekarang.
Kesenjangan jender yang terjadi saat ini tidak terlepas dari warisan budaya yang diciptakan oleh penjajah Belanda. Belanda bukan saja mewariskan budaya bias jender tetapi juga mewariskan budaya feodalisme, yang membedakan harkat derajat di antara sesama manusia, diciptakan oleh Belanda untuk menciptakan kecemburuan dan perpecaha.
TEORI-TEORI PENYEBAB KESENJANGAN GENDER
Teori Alamiah.
Memandang perbedaan jender sebagai kodrat alam (alamiah) yang tidak perlu dipermasalahkan. Perbedaan jender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan jender tidak berlaku universal dan dapat dipertukarkan. Kedua teori ini memiliki argumen dan pengaruh yang sama-sama kuat.
Teori Kebudayaan.
Teori ini disebut teori kebudayaan karena memandang jender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Seperti yang dikemukakan Kamla Bhasin, (2002), ”berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis, identitas jender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial-yang berarti secara historis dan budaya”. Boleh jadi teori kebudayaan merupakan ”bantahan” terhadap teori kodrat alam.
Teori Psikoanalisis
Teori Freud memandang perbedaan jenis kelamin sebagai awal dari perbedaan perkembangan psikologis itulah yang menentukan perbedaan perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya perbedaan perkembangan psikologis itulah yang menentukan perbedaan perkembangan perilaku masing-masing.
Perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan dalam perkembangannya menghasilkan dinamika kepribadian yang berbeda pula. Sifat-sifat feminim dan maskulin menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang secara psikologis memang berbeda
PERKEMBANGAN KESENJANGAN GENDER SAAT INI
Proses budaya yang sudah berjalan sangat lama, kemudian diwariskan secara turun-temurun, dan terbentuk dalam norma sosial atau tata krama kehidupan dalam masyarakat, sehingga menjadi keharusan untuk ditaati oleh anggota masyarakatnya. Tidak ada orang yang mengetahui secara pasti, kapan jender tercipta atau dibentuk oleh budaya masyarakat, tapi akbatnya dapat dilihat sampai saat ini. Perempuan pada berbagai peran sosial jauh ketinggalan oleh laki-laki, sepertinya perempuan pasif, cenderung menerima dan kurang percaya diri. Sebenarnya peran sosial yang jauh ketinggalan dan cenderung pasif tersebut bukan terjadi secara alamiah, tetapi lebih disebabkan karena adanya konstruksi budaya.
kodrati. Sifat-sifat feminim dan maskulin bisa dipertukarkan atau dihilangkan. Misalnya perempuan tidak feminim, juga tidak maskulin, demikian juga laki-laki. Secara fisik, kodrati laki-laki dan perempuan memang terdapat perbedaan, dimana perempuan memiliki organ tubuh yang berfungsi untuk keperluan reproduksi, sedang laki-laki tidak dilengkapi organ tubuh untuk keperluan untuk keperluan reproduksi tersebut. Tetapi yang membuat sifat-sifat feminim dan maskulin lebih disebabkan karena faktor budaya dari pada faktor fisik yang memang terdapat perbedaan.
Proses pembudayaan sifat-sifat feminim dan maskulin, dapat tersosialisasi melalui perbedaan bentuk pakaian, model potongan rambut, perlakuan, sebutan-sebutan atau bahasa yang berbeda untuk anak laki-laki dan perempuan. Tata krama dalam kehidupan bermasyarakat seperti berekspresi, bertutur kata, dan berperilaku untuk laki-laki dan perempuan sejak kecil dibedakan. Pembudayaan ini diajarkan dan diarahkan oleh budaya orang tua yang dikemas dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan perebedaan-perbedaan tersebut, anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya, lengkap dengan sifat-sifatnya. Anak perempuan mengidentifikasikan dirinya kepada ibunya sebagai figur idolanya, sperti ingin cantik seperti ibu, ingin lemah lembut dan penyayang seperti ibu. Sedangkan anak laki-laki mengidentifikasikan dirinya dengan orang dewasa sebagai idolanya dengan segala sifat-sifatnya, seperti ingin gagah seperti jenderal.
EFEK NEGATIF PEMBEDAAN GENDER
Efek negatif yang tidak secara lansung ditularkan oleh sebab pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin di antaranya adalah: (1) diskriminasi perempuan, (2) ekploitasi kaum perempua, (3) marginalisasi perempuan, (4) Sub-ordinasi permpuan, (5) stereotipe atau pelabelan negatif terhadap perempuan, (6) kekerasan terhadap perempuan, (7) bahan kerja lebih berat dan panjang. Berbagai bentuk ketidakadilan gender tersebut, biasanya tidak beridiri sendiri tetapi saling tekait dan saling mempengaruhi, dan sudah mengkristal dalam budaya masyarkat, sehingga sangat sulit untuk diluruskan.
PENDIDIKAN GENDER DISEKOLAH
Pendidikan sekolah merupakan sebuah isu signifikan bagi wanita sekarang, karena mereka makin banyak terlibat dalam sejumlah tingkatan dan anekaragam lingkungan, mulai dari pendidikan pra sekolah dan taman kanak-kanak, hingga ke sekolah menengah, dan barangkali perguruan tinggi, dengan bergerak melalui struktur yang sama seperti murid-murid laki-laki. Dalam setiap situasi pendidikan sekolah yersebut murid-murid wanita dan pria terbuka pada buku-buku teks, bahan-bahan dan sikap guru secara halus dapat mempengaruhi pemikiran mereka tentang diri mereka sendiri serta masyarakat mereka.
Seluruh gangguan verbal dan psikologis terhadap wanita dan golongan minoritas juga jelas terjadi di kampus, mulai dari humor seksis atau rasisi sebagai bumbu pengajaran di kelas, hingga pelecehan seksual secara lisan, penghinaan rasial, gangguan yang bersifat rasis, dan / atau penyerahan seksual. ”pelecehan seksual” (sexual harassement), menurut Russel, merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang memungkinkan laki-laki mengejar kepentingan ekonomi mereka sendiri (Russel, 1984). Penetapan jenis kelamin di sekolah memberikan suatu dasar kekuasaan bagi laki-laki untuk melecehkan wanita serta melindungi sumber-sumber milik mereka. Pelecehan seksual dalam sistem pendidikan, karena itu, (1) sekumpulan perilaku yang ditunjukan pada individu wanita di ruangan kelas, (2) kondisi yang menyumbang pada lingkungan pendidikan yang mengancam, dan (3) dimensi kekuasaan yaqng erat berkaitan dengan status minoritas wanita di sekolah.
KESETARAAN GENDER
Adalah perwujudan jaminan dalam tata hukum ke pola hidup dan gaya hidup sehari-hari, yang ditandai oleh sikap wanita dan pria dalam hubungan mereka satu sama lain, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang saling peduli, saling menghargai, saling membantu, saling mendukung, saling memberdayakan dan saling memberi kesempatan untuk tumbuh kembang dan mengembangkan diri secara optimal dan teus menerus, maupun untuk menentukan pilihan bidang pengabdian pada masyarakatnya dan pembangunan bangsanya serta masyarakat dunia, secara bebas dab bertanggungjawab.
Kesetaraan wanita dan pria meliputi kesetaraan kedudukan dalam tata hukum atau perundang-undangan, maupun dalam pola tau gaya hidup sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat
Kesetaraan wanita dan pria dalam pengambilan keputusan dalam keluarga mempunyai arti strategis dan dampak ganda. Strategis karena kehidupan dalam keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pasangan suami istri maupun bagi generasi penerus, anak laki-laki dan perempuan, untuk mewujudkan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan perikehidupan pembangunan nasional Indonesia
KONSEP KESETARAAN
Adalah kondisi dimana pria dan wanita memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling bantu-membantu dan saling mengisi di semua bidang kehidupan. Perwujudan kemitrasejajaran yang harmonis merupakan tanggung jawab bersama pria dan wanita. ”istilah pemberdayaan dalam bahasa Inggris empowerment ada pengertian Power, kekuasaan atau kekuatan. Maka pemberdayaan sumber intelektual dan idiologi. Aset material berupa fisik, manusiawi atau finansial, seperti air, tanah, tubuh manusia, pekerjaan, uang. Sumber intelektual berupa pengetahuan, informasi dan gagasan atau ide. Penguasaan atau idiologi berarti kemampuan untuk mengembangkan, menyebarkan, mempertahankan perangkat tertentu dari kepercayaan, sikap, nilai dan perilaku, sehingga dapat menentukan bagaimana persepsi manusia, dan berfungsinya dalam lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Dengan demikian, kekuasaan berada pada mereka yang menguasai atau dapat mempengaruhi distribusi sumber-sumber material, pengetahuan dan idiologi yang mengatur hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan publik maupun pribadi” (Batliwala dalam Sen, 1994 : 29)
LANDASAN HUKUM KESETARAAN GENDER
Konvensi Wanita Tahun 1981
Konvensi Wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, sebagian isinya disajikan di bawah ini:
Pasal 1, ”..... istilah diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan dasar persamaan antara pria dan wanita.
Pasal 2, mewajibkan negara untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan atau dengan cara-cara lainnya untuk melaksanakan prinsip persamaan antara wanita dan pria.
Pasal 3, ”Negara-negara peserta mengambil langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria.
Pasal 4, Pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam konvensi, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, dianggap sebagai diskriminasi.
Pasal 5, ”Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan :
a). untuk mengubah pola perilaku sosial budaya pria dan wanita dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka, atau kebiasaan yang berdasarkan peran stereotipe bagi pria dan wanita.
b). untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga meliputi pengertian mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam membesarkan anak-anak mereka… (Dikutip dari buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita Tapi Omas Ihromi, 2000).
Undang-umdang Dasar (UUD) 1945
UUD 1945, BAB X tentang warga negara, pasal 27 ayat (1) menentukan, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan pria dan wanita di depan hukum telah diakui. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tidak membedakan jenis kelamin di muka hukum.
Ketetapan-ketetapan MPR RI
TAP MPR RI, sejak tahun 1978-1999, mencantumkan secara tegas memberikan hak dan kewajiban yang sama antara pria dengan wanita dalam pembangunan di segala bidang, antara lain :
1). Ketetapan MPR RI No: IV/MPR/1978 (1983: 275), tentang Garis-Garis Besar Haluan negara, BAB IV Pola Umum Pelita ke tiga, huruf D. arah dan kebijaksanaan pembangunan umum, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, Sosial Budaya, angka 11 tentang peranan wanita dalam membangun dan pembinaan bangsa.
2). Ketetapan MPR RI No: II/MPR/1983 (1983: 110-111)tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, BAB IV : Pola Umum Pelita keempat, huruf D, tentang arah dan Kebijaksanaan Pembangunan Umum, Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum, Penerbangan dan media Massa, Hubungan Luar Negeri, pada angka 10 tentang peranan wanita dalam pembangunan bangsa.
Tap MPR No. IV/1999 tentang GBHN 1999
Tap MPR No. IV/1999 mendukung bahwa untuk meningkatkan peran dan kedudukan perempuan perlu dikembangkan kebijakan nasional yang diemban oleh suatu lembaga yang mamapu mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender (KKG) serta mampu meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan.
Inpres No. 5 tahun 1995
Apa yang dinyatakan presiden tersebut “pada hakekatnya wanita sebagai insan pembangunan mempunyai peran sejajar dengan pria” kemudian dikokohkan dengan Inpres No. 5 Tahun 1995. dengan demikian, maka semakin kokohnya upaya untuk meningkatkan peran yang setara dengan laki-laki, sekaligus bias jender yang dikenakan padanya, khususnya dalam kehidupan publik, dapat dieleminasi.
Propenas Tahun 2000
Propenas yang responsip jender juga terlihat dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan nasional dijelaskan bahwa program peningkatan kualitas hidup perempuan memiliki sasaran yaitu meningkatnya kualitas dan peranan perempuan di berbagai bidang. Dalam bidang pendidikan sasaran program akan dicapai melalui berbagai kegiatan pokok yang tercantum dalam program pendidikan pra-sekolah , pendidikan menengah, program pendidikan tinggi, program pembinaan pendidikan luar sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar