13 Februari 2009

GLOBALISASI DAN PEMBANGUNAN RAMAH LINGKUNGAN

Menghadapi persaingan global, semua bangsa-bangsa di dunia wajib mempersiapkan diri baik dari sisi fisik maupun non fisik. Globalisasi yang terjadi di dunia tidak mungkin dihindari, apalagi dilawan. Hanya satu cara dalam menghadapinya, yaitu mensiasati. Langkah strategis yang dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini adalah mempersiapkan diri agar tidak terjebak pada ranjau-ranjau globalisasi. Tidak mungkin globalisasi yang datang dengan deras hanya dihadapi dengan sebuah sikap yang apatis. Tidak berbuat berarti telah merelakan diri untuk tergusur pada pusaran global yang sangat mengerikan. Ketertinggalan bukan pilihan, kemajuan adalah sebuah angan-angan.

Pembangunan dalam konteks global merupakan pembangunan komprehensif tanpa menapikan salah satu bagian yang ada di sekitarnya. Pembangunan yang menyeluruh harus didirikan atas sebuah frame bahwa kebangkitan tidak mungkin terjadi jika mematikan salah satu di antaranya.Dalam pembangunan fisik, sebuah bangsa yang disebut Indonesia sering kali sangat parsial. Terlebih jika isu ini ditarik pada wilayah-wilayah lokal. Maka ironisme ini akan sangat nampak jelas ketika wacana pembangunan yang dikedepankan, namun bagi pihak lain adalah kematian. Pembangunan yang sangat parsial ini bagi sebagian kalangan sesungguhnya bukan kemajuan tetapi justru kemunduran, bukan pembangunan tetapi kehancuran, tidak konstruktif tetapi destruktif.

Bayangkan saja misalnya jika sejumlah pembangunan fisik di suatu daerah sama sekali tidak mengindahkan pertumbuhan lingkungan sekitarnya. Sebuah kekeliruan besar jika konteks pembangunan fisik harus ditebus dengan kematian lingkungan yang sudah dipelihara sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Terkadang saya tidak habis pikir jika pembangunan harus menggusur keramahan lingkungan yang tertanam sejak lama dan jelas-jelas telah memberikan kontribusi sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia.


Di luar konteks politik dan bisnis, pembangunan seyogyanya diperuntukan bagi kepentingan masyarakat. Jika pembangunan menapikan masyarakat, maka pembangunan itu sangat mudah ditebak, untuk kepentingan penguasa yang jumlahnya hanya beberapa gelintir orang. Tidak peduli dengan aspirasi dan masa depan rakyat, yang penting bagaimana supaya dirinya dapat untung besar dari sebuah pembangunan yang telah menapikan sisi-sisi lingkungan dan kepentingan masyarakat banyak ke depannya.

Berbagai bencana alam yang terjadi di Dunia dan Indonesia khususnya merupakan cermin dimana sebuah kekayaan alam yang sepatutnya dilestarikan, justru dinapikan keberadaannya. Inilah puncak dari sebuah paradigma pembangunan yang tidak berbasis lingkungan. Di satu sisi kita menyaksikan sebuah kebanggaan akan hasil pembangunan fisik yang sangat megah dan mentereng, tetapi di sisi lain kita juga dihadapkan kepada sebuah kenyataan akan datangnya bencana yang bertubi-tubi. Keramahan lingkungan kini sudah banyak terusik, kesejukan dan kesahabatannya sudah berlalu, yang tersisa tinggal kegarangan dan kekecewaan. Akhirnya alam lebih sering "marah" ketimbang memperlihatkan "senyum" kedamaiannya.

Lalu kenapa dengan potensi alam yang begitu melimpah bangsa kita tidak juga bangkit? Sebuah pertanyaan yang dapat merangsang untuk melahirkan sejumlah jawaban. Namun pada konteks lingkungan, sepertinya kita tidak termasuk orang-orang yang bersyukur. Kelebihan kekayaan alam yang diberikan Tuhan tidak kemudian menjadikan bangsa ini bangkit dari keterpurukan ekonomi. Kekayaan alam belum juga dapat dijadikan sebuah modal luar biasa untuk menjadi spirit kemajuan sebuah bangsa yang terdiri dari ribuan pulau ini.

Kekayaan alam tidak memberikan inspirasi positif kepada masyarakat terutama para pejabat pemerintah kita dalam rangka membangun bangsa sehingga dapat berada jauh di depan. Kekayaan alam kita hanya menjadi seonggok gumpalan tanah dan segelintir pohon yang siap dieksploitasi kapan saja. Lahan-lahan perkebunan dan pegunungan hanya menjadi menjadi objek bisnis dengan tanpa mengindahkan masa depannya. Masyarakat tidak menjadi penikmat alam, justru mereka menjadi bagian yang terkena imbas dari eksploitasi alam tersebut, baik berupa banjir, longsor, dan bencana-bencana lainnya.

Kita kurang bersyukur, kita tidak menempatkan alam kita sesuai dengan yang diinginkan Tuhan. Alam sepertinya tidak menjadi rahmat, tetapi menjadi laknat. Kenapa demikian? Sebab kita tidak menjaga keberadaannya sebagai fasilitas yang harus dilestarikan,dan merawatnya. Dengan tidak mensyukuri itulah kemudian Tuhan memberlakukan hukum alam, segalanya akan kembali kepada pihak yang berbuat. Apa yang kita perlakukan terhadap suatu objek, maka buahnya akan dirasakan sendiri. Tidak mungkin kedamaian akan terjadi jika kita menanam bibit-bibit konflik. Tidak mungkin kelestarian yang didapat jika eksploitasi menjadi pekerjaan.

Itulah kenapa dalam wacana teologi lingkungan, manusia sangat dituntut untuk memahami lingkungan secara integral dan holistik, tidak parsial dan picik. Lingkungan jangan dipahami sebagai sesuatu yang terpisah satu sama lain. Merusak lingkungan berarti merusak manusia itu sendiri. Merusak lingkungan berarti kehancuran bagi semua. Memelihara lingkungan dalam kasus pembangunan berarti kita sedang membangun sebuah peradaban yang jauh lebih baik dari hari ini.

Tidak ada komentar:

SILAHKAN DUKUNG BLOG INI

KE REKENING BCA 8855 1274 62 AN. ATENG