Perempuan dan anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembangan sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Karena itu segala bentuk perlakukan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berprikemanusiaan, harus segera dihentikan tanpa kecuali.
Namun dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya telah memperlukan permpuan dan anak untuk kepentingan bisni, yakni melalui trafiking. Trafiking terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan dan dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian. Gejala ini berkembang dan berubah dalam bentuk kompleksitasnya, namun tetap merupakan perbudakan dan perhambaan. Selama ini trafiking hanya dianggap terbatas pada bentuk prostitusi, padahal dalam kenyataannya mencakup banyak bentuk dari kerja paksa.
Di Indonesia, korban-korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran dan paedophilia serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti diperkebunan, di jermal, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, buruh anak, pengemis jalanan, selain peran sebagai pelacur. Korban trafiking biasanya anak dan perempuan berusia muda dan belum menikah, anak korban perceraian serta mereka yang pernah bekerja dipusat kota atau luar negeri. Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga. Anak korban trafiking seringkali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga.
Hal ini terbukti dalam Trafficking in Person Report (Juli 2001) yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik yang menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafiking perempuan dan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai Negara yang memiliki korban dalam “jumlah yang besar”, pemerintahnya belum sepenuhnya menerapkan “standar-standar minimum” serta tidak atau belum melakukan “usaha-usaha yang berarti ” dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan trafiking.
Secara umum dapat diidentifikasi bahwa factor-faktor yang mendorong terjadinya trafiking perempuan dan anak itu antara lain disebabkan karena:
1.Kemiskinan, menurut data dari BPS adanya kecenderungan jumlah pendudukan miskin terus meningkat.
2.Ketenagakerjaan, sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung terus meningkat.
3.Pendidikan, survey social ekonomi nasional (Susenas) 2000 melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonesia berumur 10 tahun keatas belum/tidak tamat SD/tidak pernah sekolah, 32,4% tamat SD dan 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPS tahun 2000 terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutkan pendidikan ke SLTP karena alas an tidak mampu dalam pembiayaan.
4.Migrasi, menurut KOPBUMI (Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia) sepanjang tahun 2001 penempatan buruh migrant ke luar negeri mencapai sekurang-kurangnya 74.616 orang telah jadi korban dari proses trafiking.
5.Kondisi keluarga, karena pendidikan rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain factor yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga.
6.Social budaya, anak seolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidak adilan gender atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah masih tumbuh di tengah kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
7.Media massa, masih belum memberikan perhatian penuh terhadap berita dan informasi yang utuh dan lengkap tentang trafiking dan belum memberikan kontribusi yang optimal pula dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru seringkali memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografi yang mendorong menguatnya kegiatan trafiking dan kejahatan susila lainnya.
Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang signifikan, sistematis dan strategis terutama oleh pengambilan kebijakan maupun segenap komponen bangsa secara komprehensif dan terpadu. Berbagai upaya selama ini dirasakan belum efektif dan mendasar, sehingga langkah dan keputusan yang dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Untuk itu perlu dilakukan berbagai kegiatan yang simultan dan terpadu, antara lain melalui:
a.Pembentukan peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas dan dapat ditegakkan (enforceable) berkenan dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam berbagai aspeknya.
b.Penataan kelembagaan yang efektif dan responsive untuk menangani secara khusus perempuan dan anak.
c.Pengembangan kapasitas sumber daya manusia pengelola yang lebih terpercaya dan handal.
d.Penguatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ekonomi yang berbasis ekonomi kerakyatan, penyediaan pendidikan yang terjangkau dan mengembangkan hubungan social yang harmonis.
e.Membangun partisipasi dan kepedulian masyarakat yang lebih sejati/hakiki (genuine) terhadap permasalahan trafiking perempuan dan anak.
Untuk itu diperlukan tindakan yang dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak yang menanggani persoalan yang ada. Yaitu memenuhi standar sistematik (systematic), terukur (measurable) dan dicapai (attainable), rasional dan layak (rational/reasonable), dan waktu yang tepat (timely) atau disingkat SMART.
Namun dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya telah memperlukan permpuan dan anak untuk kepentingan bisni, yakni melalui trafiking. Trafiking terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan dan dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian. Gejala ini berkembang dan berubah dalam bentuk kompleksitasnya, namun tetap merupakan perbudakan dan perhambaan. Selama ini trafiking hanya dianggap terbatas pada bentuk prostitusi, padahal dalam kenyataannya mencakup banyak bentuk dari kerja paksa.
Di Indonesia, korban-korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran dan paedophilia serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti diperkebunan, di jermal, pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, buruh anak, pengemis jalanan, selain peran sebagai pelacur. Korban trafiking biasanya anak dan perempuan berusia muda dan belum menikah, anak korban perceraian serta mereka yang pernah bekerja dipusat kota atau luar negeri. Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga. Anak korban trafiking seringkali berasal dari masyarakat yang diharapkan dapat menambah penghasilan keluarga.
Hal ini terbukti dalam Trafficking in Person Report (Juli 2001) yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik yang menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafiking perempuan dan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai Negara yang memiliki korban dalam “jumlah yang besar”, pemerintahnya belum sepenuhnya menerapkan “standar-standar minimum” serta tidak atau belum melakukan “usaha-usaha yang berarti ” dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan trafiking.
Secara umum dapat diidentifikasi bahwa factor-faktor yang mendorong terjadinya trafiking perempuan dan anak itu antara lain disebabkan karena:
1.Kemiskinan, menurut data dari BPS adanya kecenderungan jumlah pendudukan miskin terus meningkat.
2.Ketenagakerjaan, sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung terus meningkat.
3.Pendidikan, survey social ekonomi nasional (Susenas) 2000 melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonesia berumur 10 tahun keatas belum/tidak tamat SD/tidak pernah sekolah, 32,4% tamat SD dan 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPS tahun 2000 terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutkan pendidikan ke SLTP karena alas an tidak mampu dalam pembiayaan.
4.Migrasi, menurut KOPBUMI (Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia) sepanjang tahun 2001 penempatan buruh migrant ke luar negeri mencapai sekurang-kurangnya 74.616 orang telah jadi korban dari proses trafiking.
5.Kondisi keluarga, karena pendidikan rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain factor yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga.
6.Social budaya, anak seolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidak adilan gender atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah masih tumbuh di tengah kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
7.Media massa, masih belum memberikan perhatian penuh terhadap berita dan informasi yang utuh dan lengkap tentang trafiking dan belum memberikan kontribusi yang optimal pula dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru seringkali memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografi yang mendorong menguatnya kegiatan trafiking dan kejahatan susila lainnya.
Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang signifikan, sistematis dan strategis terutama oleh pengambilan kebijakan maupun segenap komponen bangsa secara komprehensif dan terpadu. Berbagai upaya selama ini dirasakan belum efektif dan mendasar, sehingga langkah dan keputusan yang dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Untuk itu perlu dilakukan berbagai kegiatan yang simultan dan terpadu, antara lain melalui:
a.Pembentukan peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas dan dapat ditegakkan (enforceable) berkenan dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam berbagai aspeknya.
b.Penataan kelembagaan yang efektif dan responsive untuk menangani secara khusus perempuan dan anak.
c.Pengembangan kapasitas sumber daya manusia pengelola yang lebih terpercaya dan handal.
d.Penguatan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ekonomi yang berbasis ekonomi kerakyatan, penyediaan pendidikan yang terjangkau dan mengembangkan hubungan social yang harmonis.
e.Membangun partisipasi dan kepedulian masyarakat yang lebih sejati/hakiki (genuine) terhadap permasalahan trafiking perempuan dan anak.
Untuk itu diperlukan tindakan yang dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak yang menanggani persoalan yang ada. Yaitu memenuhi standar sistematik (systematic), terukur (measurable) dan dicapai (attainable), rasional dan layak (rational/reasonable), dan waktu yang tepat (timely) atau disingkat SMART.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar