Kebutuhan akan pemahaman dan perspektif bersama tentang berbagai hal yang terjadi di sekitar kita kini semakin mendesak, khususnya menyangkut isu-isu strategis sekaligus sensitif akhir-akhir ini. Kita melihat ada kecenderungan kuat dalam segmen masyarakat kita untuk membuat skenario tentang perubahan sosial sedemikian rupa, sehingga menjadi semacam roda besi yang melahirkan “self-fulfilling prophecy” yang kemudian mengkristal dalam kenyataan yang seolah-olah benar-benar terjadi. Semuanya bermuara pada cerita tentang gerakan “anti-kemapanan” dan berbagai bentuk kekerasan. Orang digiring untuk percaya pada keyakinan seperti itu. Keberhasilan sebuah dialog sesungguhnya akan lebih banyak ditentukan oleh terciptanya komunikasi yang bebas dalam semangat yang lebih rasional dan berbobot akademis, agar bisa memperoleh pemahaman bersama yang lebih berwajah damai dan sekaligus memberi harapan. Kesemuanya itu diharapkan mampu menghidupkan komitmen yang lebih reformatoris, segar, arif, penuh damai, realistis, dan manusiawi terhadap berbagai upaya menangani masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan di sekitar kita.
Saat ini kita menghadapi masa yang penuh ketidakpastian serta keraguan sosial yang tinggi. Kita menghadapi aneka macam tarikan perubahan ke arah yang tidak menentu. Kekecewaan dan konflik tak bisa dihindari. Saling tuduh dan saling tak percaya telah melahirkan benturan-benturan sosial. Usaha untuk saling menyingkirkan dan saling menolak merebak di hampir semua sektor kehidupan. Birokrasi, militer, partai politik, para pelaku ekonomi, mahasiswa, LSM, para tokoh agama, dan kaum intelektual cenderung mencari pembenaran sikapnya sendiri-sendiri. Keadaan ini mencerminkan kekosongan intelektual yang meletihkan dari proses mobilisasi yang non-komunikatif, di mana keikutsertaan warga masyarakat sering dinafikan dan tidak dipedulikan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dialog yang ingin dihadirkan adalah merupakan sebuah miniatur dari dialog nasional yang kita dambakan bersama. Kita perlu mencari persepsi serta perspektif baru untuk melawan apatisme, rasa gamang, putus asa dan rasa takut menghadapi ketidakpastian masa depan. Karenanya, upaya untuk merangkum keberbagaian tema aktual dalam rangkaian yang utuh merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Proses ini sekaligus akan merupakan langkah penjajagan terhadap kesiapan kita mengenali masalah-masalah yang akan dihadapi oleh daerah kita di masa depan. Kemampuan kita untuk mengenali masalah-masalah tersebut akan sangat tergantung pada kualitas dan integritas pergulatan kita. Kita pun tidak mau bermimpi bahwa semua kemungkinan yang bakal terjadi di masa depan adalah kemungkinan yang baik.
Lalu, di mana tempat agama dalam keadaan carut-marut yang serba tidak pasti ini? Di satu pihak, tantangan proses globalisasi menempatkan agama dalam sebuah tantangan radikal. Ruang lingkup agama tidak bisa lagi dibatasi dalam lingkaran lokal-primordial seperti di waktu dulu. Sekarang ini agama-agama ditantang untuk berpikir global, menjadikan umat manusia secara keseluruhan sebagai subyek bagi kiprah dan pelayanannya. Tak mungkin lagi sebuah teologi mampu merangkum pengalaman global dengan dasar dan ruang lingkup pemikiran lokal. Di pihak lain, berbagai persoalan pada aras lokal dan nasional membuat para tokoh agama terjebak dalam lingkaran dilematis dari primordialisme yang melahirkan proses fragmentasi di banyak bidang kehidupan. Sebagai pemberi legitimasi bagi kebijakan tertentu, misalnya, agama berada dalam jalan simpang untuk melakukan peran yang lebih produktif di masa depan.
Mendesaknya kebutuhan suatu dialog bersama ini semakin menemukan momentumnya pada saat kita sebagai suatu entitas daerah (dan bangsa) akan memasuki era globalisasi dan otonomi daerah – dua hal yang sebenarnya saling kontradiksi namun akan kita jalani dan rasakan berikut akibat dan konsekuensinya. Menghadapi situasi politik di negeri kita akhir-akhir ini, kita dipaksa berpikir ekstra keras untuk merumuskan wawasan yang lebih luas untuk memahami realitas yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari serta mengantisipasi berbagai kemungkinan perubahan yang bakal terjadi di masa depan. Tanpa itu, maka diskursus kita akan dipenuhi dengan pemahaman yang justru akan semakin menjauhkan kita dari realitas sesungguhnya. Dan semakin jauh dari realitas kita akan semakin terbentur pada kecenderungan cara berpikir yang kian menyempit dan mengeras.
Yang kita perlukan adalah terobosan pembaruan ke depan yang mengatasi kelemahan pola dan perangkat berpikir kita serta mempertimbangkan kembali pendekatan yang sudah usang untuk memahami peristiwa-peristiwa sosial yang baru. Tanpa pembaruan pemikiran, mustahil bisa dilakukan terobosan terhadap status-quo kehidupan politik sekarang. Pada ujungnya, bisa menjadi penyebab bagi gagalnya usaha nasional untuk melakukan reformasi kehidupan bersama yang lebih responsif terhadap tuntutan proses demokratisasi yang terus berkembang. Untuk itu, yang diperlukan bukan hanya sekadar terbukanya akses guna memperoleh informasi, akan tetapi yang lebih penting adalah untuk menciptakan komunikasi timbal balik yang lebih terbuka antara semua pihak dengan penentu kebijakan.
Kita membutuhkan wacana yang jujur, kritis dan berorientasi ke masa depan, di mana segala bentuk keresahan, kebingungan dan ketidakpastian serta pertanyaan-pertanyaan bisa diterima secara positif. Adalah bertentangan dengan tradisi moral manapun untuk memerangi keresahan sosial dengan mengandalkan alat-alat kekerasan. Kesewenang-wenangan dan kekerasan harus dihindari. Yang hendak kita bangun adalah moral yang tegap untuk mengatasi ketakutan, keputus-asaan, frustrasi dan permusuhan di tengah masyarakat yang kita hadapi hari demi hari. Serta mampu menyelenggarakan percakapan yang dialogis yang bisa mengurai persoalan dengan gamblang. Dan bisa bertanya-tanya dengan cara yang beradab. Merenggut sikap apriori dari diri sendiri, serta melangkah ke depan secara lapang dengan membangun apresiasi terhadap pihak lain.
Saat ini kita menghadapi masa yang penuh ketidakpastian serta keraguan sosial yang tinggi. Kita menghadapi aneka macam tarikan perubahan ke arah yang tidak menentu. Kekecewaan dan konflik tak bisa dihindari. Saling tuduh dan saling tak percaya telah melahirkan benturan-benturan sosial. Usaha untuk saling menyingkirkan dan saling menolak merebak di hampir semua sektor kehidupan. Birokrasi, militer, partai politik, para pelaku ekonomi, mahasiswa, LSM, para tokoh agama, dan kaum intelektual cenderung mencari pembenaran sikapnya sendiri-sendiri. Keadaan ini mencerminkan kekosongan intelektual yang meletihkan dari proses mobilisasi yang non-komunikatif, di mana keikutsertaan warga masyarakat sering dinafikan dan tidak dipedulikan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dialog yang ingin dihadirkan adalah merupakan sebuah miniatur dari dialog nasional yang kita dambakan bersama. Kita perlu mencari persepsi serta perspektif baru untuk melawan apatisme, rasa gamang, putus asa dan rasa takut menghadapi ketidakpastian masa depan. Karenanya, upaya untuk merangkum keberbagaian tema aktual dalam rangkaian yang utuh merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Proses ini sekaligus akan merupakan langkah penjajagan terhadap kesiapan kita mengenali masalah-masalah yang akan dihadapi oleh daerah kita di masa depan. Kemampuan kita untuk mengenali masalah-masalah tersebut akan sangat tergantung pada kualitas dan integritas pergulatan kita. Kita pun tidak mau bermimpi bahwa semua kemungkinan yang bakal terjadi di masa depan adalah kemungkinan yang baik.
Lalu, di mana tempat agama dalam keadaan carut-marut yang serba tidak pasti ini? Di satu pihak, tantangan proses globalisasi menempatkan agama dalam sebuah tantangan radikal. Ruang lingkup agama tidak bisa lagi dibatasi dalam lingkaran lokal-primordial seperti di waktu dulu. Sekarang ini agama-agama ditantang untuk berpikir global, menjadikan umat manusia secara keseluruhan sebagai subyek bagi kiprah dan pelayanannya. Tak mungkin lagi sebuah teologi mampu merangkum pengalaman global dengan dasar dan ruang lingkup pemikiran lokal. Di pihak lain, berbagai persoalan pada aras lokal dan nasional membuat para tokoh agama terjebak dalam lingkaran dilematis dari primordialisme yang melahirkan proses fragmentasi di banyak bidang kehidupan. Sebagai pemberi legitimasi bagi kebijakan tertentu, misalnya, agama berada dalam jalan simpang untuk melakukan peran yang lebih produktif di masa depan.
Mendesaknya kebutuhan suatu dialog bersama ini semakin menemukan momentumnya pada saat kita sebagai suatu entitas daerah (dan bangsa) akan memasuki era globalisasi dan otonomi daerah – dua hal yang sebenarnya saling kontradiksi namun akan kita jalani dan rasakan berikut akibat dan konsekuensinya. Menghadapi situasi politik di negeri kita akhir-akhir ini, kita dipaksa berpikir ekstra keras untuk merumuskan wawasan yang lebih luas untuk memahami realitas yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari serta mengantisipasi berbagai kemungkinan perubahan yang bakal terjadi di masa depan. Tanpa itu, maka diskursus kita akan dipenuhi dengan pemahaman yang justru akan semakin menjauhkan kita dari realitas sesungguhnya. Dan semakin jauh dari realitas kita akan semakin terbentur pada kecenderungan cara berpikir yang kian menyempit dan mengeras.
Yang kita perlukan adalah terobosan pembaruan ke depan yang mengatasi kelemahan pola dan perangkat berpikir kita serta mempertimbangkan kembali pendekatan yang sudah usang untuk memahami peristiwa-peristiwa sosial yang baru. Tanpa pembaruan pemikiran, mustahil bisa dilakukan terobosan terhadap status-quo kehidupan politik sekarang. Pada ujungnya, bisa menjadi penyebab bagi gagalnya usaha nasional untuk melakukan reformasi kehidupan bersama yang lebih responsif terhadap tuntutan proses demokratisasi yang terus berkembang. Untuk itu, yang diperlukan bukan hanya sekadar terbukanya akses guna memperoleh informasi, akan tetapi yang lebih penting adalah untuk menciptakan komunikasi timbal balik yang lebih terbuka antara semua pihak dengan penentu kebijakan.
Kita membutuhkan wacana yang jujur, kritis dan berorientasi ke masa depan, di mana segala bentuk keresahan, kebingungan dan ketidakpastian serta pertanyaan-pertanyaan bisa diterima secara positif. Adalah bertentangan dengan tradisi moral manapun untuk memerangi keresahan sosial dengan mengandalkan alat-alat kekerasan. Kesewenang-wenangan dan kekerasan harus dihindari. Yang hendak kita bangun adalah moral yang tegap untuk mengatasi ketakutan, keputus-asaan, frustrasi dan permusuhan di tengah masyarakat yang kita hadapi hari demi hari. Serta mampu menyelenggarakan percakapan yang dialogis yang bisa mengurai persoalan dengan gamblang. Dan bisa bertanya-tanya dengan cara yang beradab. Merenggut sikap apriori dari diri sendiri, serta melangkah ke depan secara lapang dengan membangun apresiasi terhadap pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar