Perjudian, sama halnya dengan pelacuran, telah ada dimuka bumi sama dengan peradaban manusia. Dalam cerita Mahabarata dapat diketahui bahwa Pandawa menjadi kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13 tahun karena kalah dalam permainan judi melawan Kurawa. Di dunia barat perilaku berjudi sudah dikenal sejak jaman Yunani kuno. Keanekaragaman permainan judi dan tekniknya yang sangat mudah membuat perjudian dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Sama seperti bangsa-bangsa lain di dunia, perilaku berjudi juga merebak dalam masyarakat Indonesia. Namun karena hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengijinkan adanya perjudian, maka kegiatan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Perjudian dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai di berbagai lapisan masyarakat. Bentuk-bentuk perjudian pun beraneka ragam, dari yang tradisional seperti perjudian dadu, sambung ayam, permainan ketangkasan, tebak lagu sampai pada penggunaan teknologi canggih seperti judi melalui telepon genggam atau internet. Bahkan kegiatan-kegiatan olahraga seperti Piala Dunia (Worldcup) tidak ketinggalan dijadikan sebagai lahan untuk melakukan perjudian. Perjudian online di internet pun sudah sangat banyak dikunjungi para penjudi.
Niat pemerintah untuk melokalisasikan perjudian ke sebuah tempat, mendapatkan berbagai tanggapan baik pro maupun kontra. Sebagian menyambut baik usulan tersebut dengan alasan agar dapat memonitor kegiatan perjudian seperti yang juga dilakukan oleh negara tetangga seperti Malaysia atau ingin mengulang kembali apa yang pernah dilakukan oleh Gubernur DKI tahun 1967 dengan melokalisasi perjudian liar ke tempat-tempat tertentu. Sebagian lagi menentang dengan keras usulan tersebut karena dengan lokalisasi tersebut pemerintah dianggap mendukung perilaku berjudi, padahal hal tersebut jelas-jelas dilarang oleh undang-undang.
Terlepas dari berbagai pendapat yang pro maupun kontra terhadap perjudian, perilaku berjudi menjadi bahan menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat perilaku tersebut sebenarnya amat sulit diberantas. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa saja faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut ditinjau dari sudut pandang psikologi dan apakah suatu perilaku berjudi dapat dianggap sebagai perilaku yang menyimpang (pathologis). Perjudian di satu pihak sangat terkait dengan kehidupan dunia bawah kita (underworld), tapi di pihak lain dilegalisasi (legitimated world), dan seakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia rekreasi dan hiburan. Keberanian mengambil risiko dan ketangguhan menghadapi ketidakpastian dalam dunia perjudian dan bisnis merupakan dua elemen yang nuansanya sama, kendati dalam konteks yang amat berbeda. Oleh sebab itu, dalam komunitas masyarakat tertentu perjudian tidak dianggap sebagai perilaku menyimpang yang dapat menimbulkan masalah moral dalam komunitas.
Definisi Perjudian
Setiap perilaku manusia pada dasarnya melibatkan pilihan-pilihan untuk merespon ataukah membiarkan suatu situasi berlalu begitu saja. Pada umumnya setiap pilihan yang diambil akan membawa kepada suatu hasil yang hampir pasti atau dapat diramalkan. Namun demikian ada kalanya pilihan tersebut jatuh pada sesuatu yang tidak dapat diramalkan hasilnya. Jika pilihan yang diambil jatuh pada hal yang demikian maka dapat dikatakan bahwa kita telah memberikan peluang untuk kehilangan sesuatu yang berharga. Dengan kata lain kita telah terlibat dalam suatu “perjudian” (gambling).
Perjudian (gambling) dalam kamus Webster didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan elemen risiko. Dan risiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu kerugian. Sementara Robert Carson & James Butcher (1992) dalam buku Abnormal Psychology and Modern Life, mendefinisikan perjudian sebagai memasang taruhan atas suatu permainan atau kejadian tertentu dengan harapan memperoleh suatu hasil atau keuntungan yang besar. Apa yang dipertaruhkan dapat saja berupa uang, barang berharga, makanan, dan lain-lain yang dianggap memiliki nilai tinggi dalam suatu komunitas.
Definisi serupa dikemukakan oleh Stephen Lea, dkk dalam buku The Individual in the Economy, A Textbook of Economic Psychology (1987). Menurut mereka perjudian tidak lain dan tidak bukan adalah suatu kondisi dimana terdapat potensi kehilangan sesuatu yang berharga atau segala hal yang mengandung risiko. Namun demikian, perbuatan mengambil risiko dalam perilaku berjudi, perlu dibedakan pengertiannya dari perbuatan lain yang juga mengandung risiko. Ketiga unsur dibawah ini mungkin dapat menjadi faktor yang membedakan perilaku berjudi dengan perilaku lain yang juga mengandung risiko:
1. Perjudian adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan sejumlah uang (atau sesuatu yang berharga) dimana pemenang memperoleh uang dari yang kalah.
2. Risiko yang diambil bergantung pada kejadian-kejadian dimasa mendatang, dengan hasil yang tidak diketahui, dan banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat kebetulan/ keberuntungan.
3. Risiko yang diambil bukanlah suatu yang harus dilakukan; kekalahan/kehilangan dapat dihindari dengan tidak ambil bagian dalam permainan judi.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perjudian adalah perilaku yang melibatkan adanya risiko kehilangan sesuatu yang berharga dan melibatkan interaksi sosial serta adanya unsur kebebasan untuk memilih apakah akan mengambil risiko kehilangan tersebut atau tidak.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Berjudi
Bahwa perilaku berjudi memiliki banyak efek samping yang merugikan bagi si penjudi maupun keluarganya mungkin sudah sangat banyak disadari oleh para penjudi. Anehnya tetap saja mereka menjadi sulit untuk meninggalkan perilaku berjudi jika sudah terlanjur mencobanya. Dari berbagai hasil penelitian lintas budaya yang telah dilakukan para ahli diperoleh 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh dalam memberikan kontribusi pada perilaku berjudi. Kelima faktor tersebut adalah:
Faktor Sosial dan Ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah perjudian seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tidaklah mengherankan jika pada masa undian SDSB di Indonesia zaman orde baru yang lalu, peminatnya justru lebih banyak dari kalangan masyarakat ekonomi rendah seperti tukang becak, buruh, atau pedagang kaki lima. Dengan modal yang sangat kecil mereka berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau menjadi kaya dalam sekejab tanpa usaha yang besar. Selain itu kondisi sosial masyarakat yang menerima perilaku berjudi juga berperan besar terhadap tumbuhnya perilaku tersebut dalam komunitas.
Faktor Situasional
Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perilaku berjudi, diantaranya adalah tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian dan metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian. Tekanan kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode pemasaran yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu mengekspose para penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada calon penjudi bahwa kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa, mudah dan dapat terjadi pada siapa saja (padahal kenyataannya kemungkinan menang sangatlah kecil). Peran media massa seperti televisi dan film yang menonjolkan keahlian para penjudi yang "seolah-olah" dapat mengubah setiap peluang menjadi kemenangan atau mengagung-agungkan sosok sang penjudi, telah ikut pula mendorong individu untuk mencoba permainan judi.
Faktor Belajar
Sangatlah masuk akal jika faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap perilaku berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Apa yang pernah dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan akan terus tersimpan dalam pikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang dalam teori belajar disebut sebagai Reinforcement Theory yang mengatakan bahwa perilaku tertentu akan cenderung diperkuat/diulangi bilamana diikuti oleh pemberian hadiah/sesuatu yang menyenangkan.
Faktor Persepsi tentang Probabilitas Kemenangan
Persepsi yang dimaksudkan disini adalah persepsi pelaku dalam membuat evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Para penjudi yang sulit meninggalkan perjudian biasanya cenderung memiliki persepsi yang keliru tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada umumnya merasa sangat yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski pada kenyataannya peluang tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada hanyalah suatu ilusi yang diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi atau kejadian yang tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak mereka selalu tertanam pikiran: "kalau sekarang belum menang pasti di kesempatan berikutnya akan menang, begitu seterusnya".
Faktor Persepsi terhadap Ketrampilan
Penjudi yang merasa dirinya sangat trampil dalam salah satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan dalam permainan judi adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai situasi untuk mencapai kemenangan (illusion of control). Mereka seringkali tidak dapat membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena ketrampilan dan mana yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka kekalahan dalam perjudian tidak pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai “hampir menang”, sehingga mereka terus memburu kemenangan yang menurut mereka pasti akan didapatkan.
Apakah Perilaku Berjudi termasuk Perilaku Pathologis?
Untuk memahami apakah perilaku berjudi termasuk dalam perilaku yang patologis, maka perlu dipahami terlebih dahulu kadar atau tingkatan penjudi tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa perilaku berjudi termasuk dalam kategori perilaku yang memiliki kesamaan dengan pola perilaku adiksi. Pada dasarnya ada tiga tingkatan atau tipe penjudi, yaitu:
Social Gambler
Penjudi tingkat pertama adalah para penjudi yang masuk dalam kategori “normal” atau seringkali disebut social gambler, yaitu penjudi yang sekali-sekali pernah ikut membeli lottery (kupon undian), bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh dalam pertandingan bola, permainan kartu atau yang lainnya. Penjudi tipe ini pada umumnya tidak memiliki efek yang negatif terhadap diri maupun komunitasnya, karena mereka pada umumnya masih dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Perjudian bagi mereka dianggap sebagai pengisi waktu atau hiburan semata dan tidak mempertaruhkan sebagian besar pendapatan mereka ke dalam perjudian. Keterlibatan mereka dalam perjudian pun seringkali karena ingin bersosialisasi dengan teman atau keluarga.
Problem Gambler
Penjudi tingkat kedua disebut sebagai penjudi “bermasalah” atau problem gambler, yaitu perilaku berjudi yang dapat menyebabkan terganggunya kehidupan pribadi, keluarga maupun karir, meskipun belum ada indikasi bahwa mereka mengalami suatu gangguan kejiwaan (National Council on Problem Gambling USA, 1997). Para penjudi jenis ini seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai masalah kehidupan. Penjudi bermasalah ini sebenarnya sangat berpotensi untuk masuk ke dalam tingkatan penjudi yang paling tinggi yang disebut penjudi pathologis jika tidak segera disadari dan diambil tindakan terhadap masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi.
Pathological Gambler
Penjudi tingkat ketiga disebut sebagai penjudi “pathologis” atau pathological gambler atau compulsive gambler. Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah ketidakmampuannya melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi. Mereka sangat terobsesi untuk berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi berjudi dan jumlah taruhan tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh perilaku tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, karir, hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya.
Apa yang Dapat Anda Lakukan?
Diakui atau pun tidak, praktek perjudian di Indonesia tetap saja tumbuh dan berkembang di seluruh penjuru negeri ini, apalagi dengan tidak kunjung adanya supremasi hukum seperti yang dicita-citakan oleh para kaum reformis selama ini. Dengan semakin banyaknya tempat-tempat perjudian dan tersedianya sarana yang memungkinkan para penjudi untuk berpartisipasi tanpa harus hadir langsung secara fisik di tempat perjudian tersebut (cth. lewat internet atau telepon), maka dapat dipastikan bahwa para penjudi pathologis akan terus bertambah dari hari ke hari. Kenyataan ini tentu saja harus menjadi perhatian serius para professional seperti psikolog, psikiater, konselor atau terapist dalam membimbing para penjudi tersebut supaya dapat kembali ke kehidupan normal. Tugas ini tentu bukan hal yang mudah mengingat di Indonesia belum banyak diperoleh hasil penelitian ataupun referensi tentang sisi-sisi psikologis seorang penjudi karena sample yang mau diteliti tentu amat langka sebagai akibat dari dilarangnya perjudian secara hukum. Namun satu hal terpenting yang harus dilakukan oleh semua pihak adalah bagaimana mencegah supaya diri kita tidak terlibat ke dalam perjudian. Ibarat kata pepatah “adalah lebih baik mencegah daripada mengobati”.
Dalam menyikapi perilaku berjudi dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa hal yang mungkin perlu anda perhatikan:
1. Mengingat bahwa perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yg perlu diperhatikan untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam perjudian adalah melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga, selaku komunitas terkecil dalam masyarakat. Kalau orangtua dapat menanamkan nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak usia dini maka anak akan memiliki kontrol diri dan kontrol sosial yang kuat dalam kehidupannya, sehingga mampu memilih alternatif terbaik yang berguna bagi dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Penanaman nilai-nilai bukan hanya sekedar dilakukan dengan kata-kata tetapi juga lebih penting lagi melalui keteladanan dari orangtua.
2. Mengingat pula bahwa perilaku berjudi sangat erat kaitannya dengan pola pikir seseorang dalam memilih suatu alternatif, maka sangatlah perlu bagi orangtua, pendidik dan para alim ulama untuk mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir rasional yang saya maksudkan adalah mengajarkan seseorang untuk melihat segala sesuatu dari berbagai segi, sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak alternatif yang ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan berpikir rasional seseorang tidak akan dengan mudah untuk mengambil jalan pintas.
3. Bagi anda yang merasa sudah sangat sulit untuk meninggalkan perilaku berjudi, sebaiknya anda tidak segan-segan atau malu untuk meminta bantuan orang-orang professional seperti psikiater, psikolog, konselor atau terapist. Bekerjasamalah dengan mereka untuk melepaskan diri dari masalah perjudian.
4. Jika memang tidak memiliki pengendalian diri yang tinggi maka jangan sekali-kali anda mencoba untuk berjudi, sekalipun itu hanya perilaku berjudi tingkat pertama. Jangan pula menjadikan judi sebagai pelarian dari berbagai masalah kehidupan anda sehari-hari. Jika memang memiliki masalah mintalah bantuan pada orang-orang professional, bukan pergi ke tempat-tempat perjudian.
5. Perkuat iman kepada Tuhan dan perbanyak kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Dengan meningkatkan iman dan selalu mengingat ajaran agama anda masing-masing maka kemungkinan untuk terlibat perjudian secara kompulsif akan semakin kecil.
02 April 2008
PERILAKU BERJUDI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar